Minggu, 23 Januari 2011

Kritisi Draft Amandemen Undang-Undang Perkawinan


Kerangka amandemen UU Perkawinan telah lama disusun oleh para aktivis perempuan, pasca kegagalan mengusung Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI) yang dimotori Feminis Musdah Mulia. CLDKHI memang secara terang-terangan dan frontal menyerang Islam, karena itu langsung dianulir. Namun, para pengagas CLDKHI tak kurang akal. Mereka berupaya memasukkan substansi-substansi CLDKHI dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Diantaranya berhasil digolkan menjadi hukum positif, seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) yang berhasil memotivasi kaum perempuan untuk berani melawan suami dan berani bercerai; UU Perlindungan Anak (UU PA) yang meliberalkan anak-anak sejak dini dan menegaskan peran orang tua dalam mendidik anak; serta UU Kewarganegaraan yang semakin melegalkan pernikahan campuran beda agama (yang dalam agama tertentu (baca:Islam) dilarang) dan memudahkan pelegalan anak hasil perzinaan.

Dalam hal pelarangan poligami sebagaimana dikehendaki CLDKHI, mereka membidik UU Perkawinan. Poligami ditentang habis-habisan dan diupayakan untuk dihapuskan sama sekali. Hal ini bis adili9hat dari draft amandemen UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 versi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik yang menghendaki dihapuskannya pasal 2,3,4 dan 5 tentang poligami dalam UU Perkawinan. Sederet argumen dikemukakan. Antara lain, poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), poligami hanya untuk kepentingan biologis, menempatkan perempuan sebagai sex provider. Argumen-argumen yang seolah masuk akal, padahal sejatinya hanya dibangun berdasarkan asumsi dan justifikasi subjectif.

Selain pasal poligami, pasal 7 berbunyi "Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun" diganti dengan  "Perkawinan hanya diizinkan jika kedua belah pihak berusia di atas 18 tahun". Alasannya, pembedaan usia minimal pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah bias gender. Hal ini sejalan dengan UU Perlindungan Anak yang mendefenisikan anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun. Bila ditelah, penetapan angka 18 tahun ini mengandung maksud, yakni untuk meninggikan usia pernikahan dengan harapan usia reproduksi perempuan akan semakin pendek. Bagaimana tidak, dengan kampanye 4T yang mereka gembar-gemborkan, maka peluang lahirnya generasi dari kaum wanita semakin sempit. 4T tersebut adalah; (1) Tidak terlalu dini (maksdnya jangan nikah muda, dengan dalih mengganggu kesehatan reproduksi), (2) Tidak terlalu banyak (maksudnya dua anak cukup, selaras dengan program KB dengan dalih demi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup), (3) Tidak terlalu dekat (maksudnya jarak kelahiran anak jangan terlalu dekat dengan dalih mengganggu kesehatan reproduksi), dan (4) Tidak terlalu tua (maksdnya, jangan melahirkan anak lebih dari usia 34 tahun, dengan dalih resiko tinggi).


Kampanye ini terkait dengan upaya menghentikan proses regenerasi. Siapa yang dibidik?? Tentu saja kaum muslimin. Jumlah kaum muslimin yang banyak, menjadi ancaman bagi eksistensi ideologi sekular-kapitalistik. Untuk itu, di negeri-negeri muslim perlu direkayasa upaya menekan prose regenerasi ini. Padahal di negeri-negeri Barat sendiri, penduduknya justru didorong untuk memiliki anak karena saaat ini  di sana dilanda penduduk dan terancam lost generation.


Selain pasal di atas, pasal 11 berisi masa iddah bagi wanita bercerai, dikendaki untuk diberlakukan juga bagi laki-laki. Aneh bin ajaib!!! Saking pengen sma 50:50 dengan laki-laki, masa iddah yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah mantan istri hamil atau tidak, diberlakukan pada laki-laki yang tak mungkin hamil. Pukul rata atas perjuangan menuju gender equality lebih jelas lagi dalam pasal 34. Pasal berisi pembagian peran antara suami dan isteri itu, mereka obrak-abrik dengan menghendaki peran dan tanggungjawab yang sama antara suami dan isteri. Dengan demikian, peran suami sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah bisa diambil-alih oleh isteri. Demikian pula sebaliknya, peran isteri sebagai pengatur rumah tangga harus pula dibebankan kepada suami.


Atas dasar ini, isteri tidak boleh dilarang bekerja agar memiliki bargaining power sebagai pengambil kebijakan dalam rumah tangga, karena memiliki sumber penghasilan. Jika suami melarang isteri bekerja, akan dikenai delik kekerasan versi UU PKDRT. Dengan demikian, relasi suami-isteri benar benar disamaratakan. Disinilah letak pintu masuk bagi kehancuran institusi keluarga.


Penghancuran Pernikahan


Draft amandemen UU Perkawinan versi Feminis yang nota bene derivat dari ideologi sekular-kapitalistik, jelas sangat berbahaya. Pertama, UU Perkawinan yang dibangun atas landasan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) itu berupaya mereduksi ajaran Islam tentang pernikahan. Seperti penentangan atas poligami, perombakan hukum tentang masa iddah dalam kasus perceraian dan relasi yang mengatur hubungan suami dan isteri.


Kedua, menggiring masyarakat menuju liberalisasi. Larangan menikah di bawah usia 18 tahun, sekalipun pelaku sudah matang secara fisik, mental, dan ekonomi, sama saja dengan menggiring masyarakat untuk menuju pintu seks bebas.


Ketiga, menghancurkan institusi pernikahan dan keluarga. Penyamaran peran antara suami dan isteri, berpeluang besar menimbulkan konflik kepentingan yang berujung pada perceraian. Juga, melemahkan peran pendidikan anak dan kelahiran generai-generasi berkualitas dari sebuah keluarga. Di negeri-negeri Barat, dimana perempuannya mandiri secara ekonomi, justru meluas perceraian. Institusi keluarga tak lagi dihormati sebagai wadah terkecil tempat para stake holders di dalamnya harus berbagi peran. Keluarga tercerai-berai dan anak-anak yang dilahirkan menjadi generasi bermasalah. Fakta seperti inilah yang dikehendaki oleh para penyokong aktivis perempuan, yakni para pengusung ideologi sekular Barat.


Khatimah
UU Perkawinan merupakan target paling strategis dalam upaya penghancuran keluarga-keluarga muslim. Inilah konspirasi keji yang direncanakan Barat yang tak ingin umat Islam di Indonesia masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam. Poligami, hanyalah salah satu senjata untuk menstigmatisasi ajaran Islam demi mulusnya rencana jahat kereka. Maka , yang harus dilakukan adalah mencounter amandemen UU Perkawinan ini dengan mengeksiskan syariat Islam ke dalam seluruh sendi kehidupan dalam institusi Daulah Khilafah Islam, termasuk dengan menguatkan institusi pernikahan.


Selasa, 02 November 2010

SUSUNAN KEPENGURUSAN HIMA AS (HIMPUNAN MAHASISWA AHWAL SYAKHSHIYAH) PERIODE 2010-2011

Ketua Umum          : Umar Nurjaman
Sekertaris Umum   : Iir Hariman
Bendahara Umum  : Meirawati

Bidang-Bidang
Bidang Pengembangan Aparatur Organisasi (PAO)
Ketua         : Muhammad Abduh
Sekertaris   : Ridwan
Anggota      : Laila
                    Ujang Oki
                    Nendah Rifdatul Ulwah

Bidang Pengembangan Intelektual (PI)
Ketua          : Fuad Hasan
Sekertaris    : Wawan
Anggota       : Itep Sohiburohman
                     Intan Purnamasari
                     Nurhayati Nufus

Bidang Kerjasama, Penelitian, dan Pengembangan Masyarakat (KPPM)
Ketua          : Jawwad as-Syegaf
Sekertaris    : Rijal Oma Maulana
Anggota       : Madinah
                     Asep Julian
                     Juliansyah

Bidang Kewirausahaan
Ketua          : Hindri
Sekertaris    : An-Nisa Husnita
Anggota       : Muhamad Khoyir
                     Ai Maesaroh
                     Rizki Fadilah
                     Elvi

Bidang Kode Etik dan Akhlakul Karimah
Ketua          : Asep Hidayat
Sekertaris    : Fajar Ramdani
Anggota      : Gilang Fajar Alfian
                     Sofyan
                     Makmun

Bidang Olah Raga dan Seni
Ketua          : Hadi Nurohman
Sekertaris    : Ivan Fadilah
Anggota      : Riyan Ramdani
                    Tryan Nurdiansyah
                    M. Lutfi Agung

Bidang Pers Mahasiswa
Ketua          : Ridha
Sekertaris    : Halimah
Anggota       : Ujang Solehudin
                     Rizki Eka
                     Agus Salim

Jumat, 29 Oktober 2010

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA


A.  Kekuasaan Kehakiman
Dalam UUD 1945, masalah peradilan yang bebas dan pengaruh kekuatan lain telah mendapatkan jaminan. Pada pasal 24 dan 25 UUD 1945 beserta penjelasannya menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Namun dalam perkembangan sejarahnya Kekuasaan Kehakiman mengalami pasang surut. Dalam perkembangan selanjutnya dengan adanya UU No 7 Tahun 1989 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diperbaharui dengan UU No 35/1999 telah mengembalikan keutuhan kemandirian dan kebebasan Kekuasaan Kehakiman dibawah MA.
Untuk menjaga agar keadilan dijalankan dengan obyektif dalam UU No 7/1989 jo UU No 35/1999, memuat ketentuan agar kekuasaan kehakiman dapat melakukan tugasnya seadil-adilnya dan tidak memihak yakni:
1.      Diwajibkan pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh sekurang-kurangnya 3 orang hakim, kecuali apabila UU menentukan lain (Ps 15 ayat 1 dan ps 17 ayat 2)
2.      Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili.
3.      diwajibkan kepada hakim yang masih terikat dalm hubungan kekeluargaan dengan tertuduh, Ketua, Hakim Anggota lainnya, Jaksa, atau Panitera dalam suatu perkara tertentu untuk mengundurkan diri dari pemerikasaan perkara itu (Ps 28 ayat 2)
4.      Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum sejak saat dilakukannya penangkapan dan/atau penahanan (Ps 35-38).

B.     Mahkamah Agung

Dalam struktur ketatanegaraan, kedudukan MA adalah sebagi Lembaga Tinggi Negara yang melaksanakan Kekuasaaan Kehakiman atau sebagai badan tertinggi yang melaksanakan fungsi yudikatif sebagaimana tercantum dalam pasal 24 UUD 1945. Dalam UU No 14/1079 tentang Mahkamah Agung disebutkan bahwa lembaga ini mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman sekaligus mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya. Di samping itu, MA juga merupakan peradilan kasasi yang memutus permohonan terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding. MA pun mempunyai wewenang pengawasan di semua lingkungan peradilan. Ia dapat pula meminta keterangan dan pertimbangan dan Pengadilan di semua lingungan Peradilan. Ia juga diberi wewenang untuk membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan.
C.    Sekitar Peradilan Agama

 I.      Tujuan UU No 7/1989 Tentang Peradilan Agama

1.      Mempertegas Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama sebagai Kekuasaan Kehakiman
2.      Menciptakan Kesatuan Hukum Peradilan Agama
3.      Memurnikan Fungsi Peradilan Agama

II. Pengadilan Agama Sebagai Pelaksana Kekuasan Kehakiman

Ada tiga pilar Kekuasaan Kehakiman dalam melaksanakan fungsi Peradilan yang diamanatkan pasal 24 UU No 45 jo pasal 10 UU No 14/1970 jo UU No 35/1999 yaitu:
1. Adanya badan peradilan yang terorganisir berdasarkan kekuatan Undang-Undang
2. Adanya sarana hukum sebagai rujukan
3. Adanya aparat hukum dan organ pelaksana

III. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

1.    HIR atau Reglement Indonesia yang diperbarui: St. 1848 No 16, Stbl. 1941 No 44 (Daerah Jawa Madura).
2.    RBG atau Reglement daerah seberang: Stbl. 1927 No 227 (Luar Jawa Madura).
3.    RV/Reglement Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa: stbl.1847 No 52,1849 No 63).
4.    UU RI No 14/1970 jo UU No 35/1999
5.    UU RI No 7/1989
6.    Yurisprudensi

IV. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Agama

1.      Asas Personalitas Keislaman
2.      Asas Kebebasan
3.      Hakim bersifat menunggu
4.      Hakim Pasif
5.      Sifat Terbukanya Persidangan
6.      Mendengarkan Kedua Belah Pihak
7.      Putusan Hakim disertai alasan
8.      Beracara Dikenakan Biaya
9.      Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
10.  Tidak Ada Keharusan Mewakilkan


V. Proses Pelaksanaan Beracara di Lingkungan Peradilan Agama
a.       Pengajuan Gugatan
Tiap perkara perdata yang berada dalam Pemerikasaan di muka Hakim sekurang-kurangnya    ada dua pihak yang berhadapan yakni: Penggugat adalah pihak yang mulai mengajukan perkara dan Tergugat adalah pihak yang oleh penggugat ditarik di muka pengadilan. Tiap proses perkara di peradilan Agama dimulai dengan diajukannya surat gugatan yakni suatu surat yang diajukan penggugat kepada Ketua Pengadilan yang berwenang yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Adapun syarat gugatan adalah:
1).  Merupakan Tuntutan Hak, suatu tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan guna mencegah perbuatan main hakim sendiri.
2). Adanya Tuntutan Hak yang layak dan cukup serta mempunyai dasar hukum yang dapat diterima sebagi dasar tuntutan hak.
3).  Merupakan Suatu Sengketa
4).  Dibuat Dengan Cermat dan Terang, jika tidak maka gugatan akan menemui kegagalan.
Ada dua macam kewenangan yang dikenal dalam hukum acara perdata yakni kewenagan mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan pengadilan dan kewenangan relatif adalah mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar pengadilan serupa.
Adapun isi gugatan setidaknya harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Identitas Para Pihak (Nama,umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan).
2.      Posita atau Fundamentum Petendi, penjelasan tentang keadaan dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugatan.
3.      Petitum, yaitu tuntutan yang diminta oleh penggugat. Petitum merupakan bagian terpenting dari surat gugatan.
Pada dasarnya berperkara itu dikenakan biaya. Namun bagi mereka yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan untuk dibebasakan dari pembayaran sacara Cuma-Cuma (prodeo). Dalam pengajuan biaya Cuma-Cuma dikenal dua subyek berperkara yaitu penggugat dan tergugat. Ada  beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pengajuan berperkara/gugat Cuma-Cuma:
1.      Mengajukan permohonan berperkara secara Cuma-Cuma.
2.      Permohonan tersebut dilampiri surat keterangan tidak mampu dari kepala desa yang diketahui camat.
3.      Surat keterangan tersebut berdasarkan hasil pemerikasaan kepala desa/lurah yang menyatakan bahwa benar pemohon tidak mampu membayar ongkos perkara.
Penggabungan Gugatan (kumulasi) beberapa gugatan hak dalam satu gugatan diperkenankan dalam hukum acara perdata. Adapun beberapa bentuk penggabungan gugatan:
1.      Kumulasi subyektif, penggugat seorang menggugat beberapa orang atau sebaliknya beberapa orang menggugat satu orang.
2.      Kumulasi Obyektif, penggugat mengajukan lebih dan satu tuntutan atau gugatan dalam satu perkara.
3.      Intervensi (campur tangan), adanya pihak ketiga yang atas kehendaknya mencampuri sengketa yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat. Adapun bentuk intervensi yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata:
-    Voeging (menyertai), masuknya pihak ketiga atas kehendaknya sendiri untuk membantu salah satu pihak menghadapi lawan. Bertindak sebagai penggugat atau tergugat.
-    Vrijwaring (penanggungan), pihak ketiga ditarik oleh tergugat dengan maksud agar ia menjadi penanggung bagi tergugat.
-    Tussenkomst (menengahi), pihak ketiga masuk dalam proses perkara yang sedang berjalan untuk membela kepentingan sendiri.
b.     Pemerikasaan di Pengadilan
Dalam Hukum Acara Perdata, pemerikasaan perkara perdata di pengadilan melalui beberapa tahapan yakni:
1.      Pembacaan Gugatan, dimana penggugat bisa saja mencabut gugatannya atau merubah gugatan sepanjang tidak merubah atau menambah petitum dan diajukan sebelum tergugat menjawab.
2.      Jawaban Tergugat dapat disampaikan secara lisan atau tertulis dapat berupa:
-          Pengakuan, membenarkan isi gugatan, sebagian atau seluruhnya.
-          Bantahan, sangkalan terhadap pokok perkara.
-          Reverte, sanggahan terhadap suatu gugatan atau perlawanan yang tidak pula membenarkan.
-          Eksepsi (tangkisan), sanggahan terhadap suatu gugatan atau perlawanan yang tidak mengenai pokok perkara. Eksepsi terdiri dari dua macam yakni: Eksepsi Prosesual (formil): eksepsi berdasar hukum formil dan Eksepsi Materiil : eksepsi berdasar hukum materil.
Adapun Gugatan Balik (Rekonvensi) adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang tengah berjalan antara mereka. Gugatan rekonpensi berhubungan dengan hukum kebendaaan dan bukan berkenaan dengan hukum perorangan.
3.      Replik Penggugat atau jawaban penggugat atas jawaban tergugat, penggugat bisa menyampaikan dalil-dalil tambahan untuk menguatkan dali dalam gugatan sebelumnya.
4.      Duplik Tergugat atau jawaban kembali dari tergugat atas jawaban penggugat dalam repliknya. Duplik biasanya berisi dalil-dalil untuk menguatkan jawaban tergugat sebelumnya.
5.      Pembuktian
6.      Kesimpulan
7.      Putusan Hakim
c.      Pembuktian
Menjadi suatu kewajiban bagi pihak yang berperkara untuk membuktikan gugatannya, hal ini untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang disampaikan kedua belah pihak sebelum hakim mengambil keputusan. Pembuktian dalam perkara perdata dikenal istilah Preponderance Of  Efidence yang berarti tidak mensyaratkan keyakinan.
·         Teori Pembuktian
1.      Teori Pembuktian Bebas, dalam hal ini penilaian pembuktian diserahkan kepada hakim.
2.      Teori Pembuktian Negatif, yang menhendaki harus adanya ketentuan yang mengikat hakim secara negatif yaitu membatasi pada larangan kepada hakim.
3.      Teori Pembuktian Positif, selain adanya larangan juga adanya perintah bahwa hakim diwajibkan untuk melakukan segala tindakan dalam pembuktian.
·        Teori Beban Pembuktian
1.      Bersifat menguatkan: siapa yang mengemukakan harus membuktikan.
2.      Hukum subyektif
3.      Hukum Obyektif: mengajukan hak berarti minta kepada hakim menerapkan ketentuan obyektif terhadap peristiwa.
4.      Hukum Publik: bahwa mencari kebenaran suatu peristiwa di peradilan adalah untuk kepentingan publik.
5.      Hukum Acara
·        Macam-Macam Alat Bukti (Pasal 164 HIR)
1.      Alat Bukti Tertulis (Ps 138, 165, 167 HIR dan Ps 1867-1894 BW) adalah sesuatu yang memuat tanda-tanda baca dimaksud mencurahkan isi hati dan buah pikiran dipergunakan sebagi pembuktian. Dapat berupa: Akta, baik akta otentik, akta dibawah tangan maupun akta sepihak, Surat-surat lain bukan akta: surat register
2.      Alat Bukti Saksi
Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka persidangan dengan memenuhi syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yan ia lihat, dengar dan ia alami sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Seorang saksi tidak boleh menarik kesimpulan. Saksi hanya menerangkan apa yang ia lihat, dengar dan dialaminya sendiri. Alat bukti saksi mempunyai kekuatan hukum pembuktian bebas artinya hakim bebas memberikan penilaian atas kesaksian seseorang/beberapa orang yang diajukan di persidangan. Sebelum memberi keterangan saksi harus bersumpah (Ps 147 HIR,1911 BW).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menilai alat bukti saksi:
-          Kesesuaian, kecocokan keterangan para saksi
-          Kejelasan oleh saksi mengapa ia sampai mengetahui peristiwa tersebut.
-          Kesaksiat testimonium de auditu yakni keterangan dan saksi yang diperoleh dan orang lain, ia tidak mendengarnya/mengalaminya tetapi hanya dengar dari orang lain tentang keajadian tersebut.
-          Unus testis nullus testis (Satu saksi bukan saksi)
-          Keterangan saksi yang didasarkan atas konklusi tidak dianggap kesaksian.
-          Keterangan yang diberikan saksi mempunyai sumber pengetahuan yang jelas.
-          Cara hidup, kebiasaan, martabat, intelektual dan segala yang dapat mempengaruhi saksi dalam memberikan keterangan.
3.      Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau    dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang berdasarkan undang-undang atau kesimpulan yang ditarik oleh hakim. Persangkaan dapat dibedakan menjadi:
-          Feitelijik Vermoeden (persangkaan berdasar kenyataan).
-          Wettelijike Vermoeden (Persangkaan berdasar hukum)
4.      Pengakuan adalah keterangan sepihak baik tertulis atau lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan yang membenarkan seluruh atau sebagian dari satu peristiwa hak atau hubungan hukum yang diajukan lawan yang mengakibatkan pemerikasaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu. Ada beberapa macam bentuk pengakuan:
-          Pengakuan murni
-          Pengakuan Kwalifikasi
-          Pengakuan dengan klausa
5.      Sumpah adalah suatu pernyataan yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar dihukum oleh-Nya. Dasar mengenai sumpah Ps 155 HIR/182 RBG, Ps 156 HIR/183 RBG, Ps 157 (1) HIR/ 184 RBG, Ps 177 HIR/ 314 RBG. Adapun macam-macam sumpah:
-          Sumpah Pelengkap (supletoir)
-          Sumpah Pemutus (decisoir)
-          Sumpah Penaksiran (aestimatoir)
d.     Putusan Hakim
Putusan Hakim adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka untuk umum guna menyelesaikan atau mengakhiri perkara antara para pihak. Putusan hakim ini selain mempunyai kekuatan yang mengikat kedua belah pihak, juga mempunyai kekuatan pembuktian.
·        Bentuk, Isi dan Susunan Keputusan
Putusan Hakim berisi dan tersusun sebagai berikut:
1.      Kepala Putusan
2.      Identitas Para Pihak
3.      Pertimbangan, mencakup: tentang duduk perkara (peristiwa hukumnya), tentang dasar putusan (hukumnya).
4.      Tentang diktum atau amar putusan, terdiri dari:
-   Deklaratif: penetapan dan hubungan hukum yang menjadi sengketa
-   Despotitif:Yang memberi hukum atau hukumannya yang berisi mengabulkan gugatan atau menolak gugatan.
5.      Akhirnya suatu putusan hakim harus ditandatangani oleh hakim dan panitera yang melaksanakan pemeriksaan perkara.
·        Jenis-Jenis Putusan
1.      Putusan Akhir, yaitu putusan yang sengketa. Putusan ini ada yang bersifat:
-   Condemnatoir: bersifat menghukum salah satu pihak
-   Constitutif: putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.
-   Declaratoir atau putusan yang bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum.
2.      Putusan Sela yaitu putusan hakim yang tidak mengenai pokok perkara dan bertujuan untuk mempermudah putusan akhir.
Selain itu ada beberapa bentuk putusan hakim lainnya yakni:
1.      Putusan Verstek: Putusan hakim yang dijatuhkan tanpa hadirnya tergugat (Ps 125 HIR)
2.      Putusan Perdamaian (Ps 130 HIR/Ps 154 RBG: Ps 14 (2) UU No 14/1970). Hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara pihak yang berperkara. Jika dapat diudahakan maka dibuatlah akta perdamaian. Dengan demikian perdamaian dapat mengakhiri perkara antara para pihak dan berlaku sebagai putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Jika tidak berhasil diusahakan maka dicatat dalam berita acara persidangan.
3.      Putusan Uitvoerbaar Bij Vooraad (UBV): Putusan hakim yang dapat dilaksanakan lebih dahulu meskipun ada pengajuan upaya hukum (Ps 180 HIR).
e.      Upaya Hukum
Upaya Hukum adalah alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam putusan hakim (Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia). Secara kategoris, upaya hukum ada dua macam:
1.      Upaya Hukum Biasa yaitu upaya hukum yang digunakan untuk memperbaiki suatu putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan yang tetap. Yang termasuk upaya hukum biasa adalah:
-          Verzet atau perlawanan adalah upaya hukum tehadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat. Verzet merupakan bentuk upaya hukum terhadap putusan verstek (Ps 129 HIR)
-          Banding adalah pemeriksaan ulang yang dilakukan oleh hakim pengadilan tinggi terhadap perkara yang telah diputus oleh pengadilan negeri atas permohonan pihak yang tidak puas terhadap putusan hakim pada tingkat pertama.
-          Kasasi adalah pembatalan atas putusan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan terakhir.
2.      Upaya Hukum Luar Biasa atau upaya hukum istimewa, yaitu upaya hukum yang digunakan untuk memperbaiki putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Yang termasuk dalam kategori ini adalah:
-          Derdonverzet atau perlawanan pihak ketiga adalah perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga tehadap putusan hakim atau terhadap perkara yang sedang berlangsung, karena pihak ketiga mempunyai kepentingan (Ps 378-379 BRV).
-          Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa yang merupakan sarana untuk memperbaiki putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
f.       Eksekusi Atau Pelaksanaan Putusan Hakim
Eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (Yahya:1989)
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan terhadap pihak yang kalah dalam suatu perkara, tata caranya diatur dalam hukum acara perdata, yaitu Ps 195-208 HIR, 224 HIR, atau Ps 206-240 dan Ps 258 RBG. Dalam eksekusi dikenal 5 asas yaitu:
1.      Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde);
2.      Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah bersifat menghukum (Condemnatoir);
3.      Putusan tidak dijalankan secara suka rela;
4.      Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan yang dilaksanakan oleh panitera dan jurusita pengadilan yang bersangkutan;
5.      Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.
Adapun jenis-jenis eksekusi adalah sebagai berikut:
1.      Eksekusi Riil, yaitu penghukuman pihak yang kalah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
2.      Eksekusi Pembayaran, yaitu menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang (Ps 196 HIR, Ps 208 RBG).
3.      Eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan yang diatur dalam pasal 225 HIR
Tata Cara Eksekusi
1.      Tata Cara Eksekusi Riil
a.       Permohonan Penggugat (pemenang perkara) kepada Ketua Pengadilan apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, sedangkan penggugat menginginkan eksekusi, maka ia harus mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan (Ps 207 ayat 1 RBG)
b.      Peringatan (aanmaning) ialah merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan berupa teguran kepada tergugat agar ia menjalankan putusan secara sukarela dalam waktu yang telah ditentukan setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan eksekusi penggugat.
c.       Apabila dalam tenggang waktu 8 hari ternyata pihak yang kalah tetap tidak mau melaksanakan putusan hakim, maka Ketua Pengadilan membuat suatu penetapan mengabulkan permohonan eksekusi
d.      Pelaksanaan eksekusi dijalankan oleh Panitera atau jurusita dengan ketentuan:
-          Eksekusi dilaksanakan oleh panitera atau jurusita (Ps 209 R.Bg)
-          Untuk membantu pelaksanaan eksekusi tersebut Panitera atau Jurusita dibantu oleh 2 orang saksi (Ps 210 RBG)
-          Eksekusi dilaksanakan di tempat obyek/barang berada
-          Membuat Berita Acara
2.      Tata Cara Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang
Aanmaning (peringatan), penetapan sita eksekusi (jika sebelumnya belum ada conservatoir beslag), perintah penjualan lelang, penjualan lelang (setelah dilakukan pengumuman sesuai ketentuan yang berlaku), dan terakhir penyerahan uang hasil lelang.
3.      Tata Cara Eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan tertentu
Diawali dengan permohonan agar putusan tersebut dinilai dengan uang kemudian tereksekusi dipanggil/diaanmaning selanjutnya  ketua pengadilan menetapkan jumlah uang sebagai pengganti putusan yang bersangkutan.

Biaya Eksekusi
Menurut ketentuan Ps 145 ayat (4) RBG permohonan/gugatan baru didaftarkan apabila pemohon/penggugat membayar biaya untuk keperluan persidangan perkara tersebut. Pada waktu mengajukan permohonan eksekusi, pemohon eksekusi harus membayar biaya panjar yang dicatat dalam buku daftar yang diperkirakan cukup untuk dapat melaksanakan eksekusi tersebut yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan.
Eksekusi Prodeo adalah membebaskan pemohon eksekusi dan kewajibannya membayar panjar eksekusi. Bukan berarti eksekusi tersebut tanpa biaya.
Eksekusi Pengosongan
Eksekusi Pengosongan merupakan salah satu bentuk eksekusi riil. Eksekusi pengosongan inilah yang frekuensinya paling sering terjadi. Pengosongan adalah tindakan untuk meninggalkan obyek terperkara yakni pihak-pihak yang kalah pergi meninggalkan benda terperkara baik secara materil maupun formal sehingga tidak ada lagi sangkut paut hak dan penguasaan hak yang kalah. Dasar hukum eksekusi pengosongan adalah berdasar Ps 218 ayat (2) RBG.
Ruang lingkup pengosongan adalah sebagai berikut:
a.      Obyeknya benda yang tidak bergerak
b.      Meninggalkan obyek terperkara
c.      Yang mesti meninggalkan benda yang hendak dikosongkan
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam prosedur dan teknis eksekusi pengosongan:
a.      Pemberitahuan waktu pelaksanaan kepada tereksekusi
b.      Tempat serta tereksekusi yang dikosongkan
-          Di tempat yang ditentukan tereksekusi
-          Di tempat yang patut
Hambatan-hambatan Eksekusi
1.      Hambatan yang bersifat teknis yuridis seperti:
a. Perlawanan pihak ketiga
b. Perlawanan pihak tereksekusi
c.  Permohonan Peninjauan Kembali (PK)
d.  Amar putusan tidak jelas
e.   Obyek eksekusi adalah barang milik negara.
2.      Hambatan yang bersifat non teknis seperti:
  • Pengerahan masa yang bisa menyebabkan pelaksanaan eksekusi menjadi gagal atau tertunda
  • Adanya campur tangan pihak lain di luar pihak yang berperkara.