Selasa, 15 Desember 2009

Saksi Dalam Pernikah


BAB I
PENDAHULUAN

Kita ketahui bahwa kita sebagaimanusia diciptakan oleh Allah swt berpasang-pasangan ada laki-laki dan perempuan, nah dalam islam, bahkan semua agama ikatan yang dapat mempersatukan pasangan tersebut dengan ikatan yang suci adalah sebuah pernikahan, sebuah pernikahan yang sah secara hukum Syara maupun secara hukum Negara ialah pernikahan yang memenuhi sayarat dan rukunnya. Salah satu penunjang sahnya pernikahan tersebut adalah adanya saksi. Lalu apa itu saksi? Siapa saksi? Haruskah saksi itu ada dalam setiap pernikahan?. Lalu bagaimana pandangan para ulama mengenai saksi dalam nikah ini?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Saksi Nikah
Saksi nikah adalah orang yang menyaksikan secara langsung akad pernikahan supaya tidak menimbulkan salah paham dari orang lain. Masalah saksi pernikahan dalam al-Qur’an tidak tertera secara eksplisit, namun saksi untuk masalah lain seperti dalam masalah pidana muamalah atau masalah cerai atau rujuk sangat jelas diutarakan. Dalam rujuk dan cerai, al-Qur’an menjelaskan:
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.” (at-Thalaq : 2)

Dalam ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan kehadiran saksi pada peristiwa rujuk yakni ketika hampir habisnya masa iddah talaq raj’i dan pihak suami ingin kembali kepada istrinya atau melepaskannya, artinya memutuskan pernikahan tersebut dengan cara membiarkan masa tenggang itu berlalu atau habis. Dalam hal ini Allah SWT menyuruh dua orang saksi yang adil. Seperti kita ketahui cerai dan rujuk adalah masalah hukum ikatan akibat adanya hukum pekawinan, namun Allah SWT tidak menyuruh kita menghadirkan saksi dalam perkawinan melalui firmannya. Mungkin atas dasar ini Nabi SAW bersabda:

لانكاح الا بولي وشا هدي عدل. (رواه الدارقطنى)
“Tidak ada nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Daruquthni).

Jadi saksi nikah ini sangat penting sekali dalam sebuah pernikahan karena selain termasuk pada salah satu rukun nikah juga menjadi syarat sahnya pernikahan. Akan tetapi menenai rukun dan syarat saksi itu sendiri bahkan mengenai sah atau tidaknya sebuah pernikahan harus adanya saksi para ulama berbeda pendapat diantaranya:

1. Saksi Nikah Menurut Imam Syafi’i
Imam syafi’i dengan keikhtiatannya berpendapat bahwa saksi nikah adalah orang yang harus menyaksikan akad pernikahan secara langsung, sesuai dengan KHI Pasal 26 yang berbunyi : “saksi harus hadir dan meyaksikan secara langsung akad nikah dan menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan” , bahkan saksi termasuk rukun yang harus dilaksanakan dalam sebuah pernikahan. Adapun syarat-syaratya ialah:
1. Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki
2. Muslim
3. Balig
4. Berakal
5. Melihat dan mendengar
6. Paham akan maksud akad nikah
7. Adil

Jadi jelas bahwa dalam hal ini imam syafi’i mengharuskan adanya saksi dalam setiap akad pernikahan, karna tampa adanya saksi maka pernikahan itu tidaklah sah. sesuai dengan Dalil syar’i yang disebutkan oleh Khalifah Umar RA. Dari Abi Zubair Al-Makki bahwa Umar bin Al-Khattab RA ditanya tentang menikah yang tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang wanita. Maka beliau berkata : ” Ini adalah nikah sirri, aku tidak membolehkannya. Bila kamu menggaulinya pasti aku rajam”. (Riwayat Malik dalam Al-Muwqaththo'). Dalam hadist ini dikatakan bahwa nikah sirri (nikah tampa saksi) adalah haram dan tidak boleh dilakukan, maka kalau seseorang melakukan akad nikah tampa ada dua orang saksi maka pernikahannya tidak sah.
Selain syarat saksi diatas juga menurut imam Syafi’i banyak sekali hikmah dengan adanya saksi dalam akaq nikah diantaranya: Untuk kemaslahatan kedua belah pihak dan masyarakat, untuk menjaga kesalah pahaman dan lain sebagainya. Misalnya salah seorang ada yang mengingkari, hal itu dapat di elakan oleh adanya dua orang saksi. Juga apabila terjadi kecurigaan masyarakat maka dua orang saksi dapatlah menjadi pembela terhadap adanya akad perkawinan dari sepasang suami istri.

2. Saksi Nikah Menurut Imam Hanafi dan Imam Hambali
Tidak jauh beda, Imam Hanafi dan Imam Hambali juga berpendapat sama bahwa saksi dalam nikah itu adalah termasuk pada rukun sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam syafi’I dan Menurut KHI Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi: “saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah” . akan tetapi menurut mereka boleh juga saksi itu satu orang laki-laki dan dua orang prempuan, dengan dalil al-qur’an surat Al baqarah ayat 282 yang artinya: “...Jika tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya....” (QS. Al-Baqarah : 282). Bahkan ia juga menambahkan boleh dua orang buta dan dua orang adil. Kecuali orang tuli, orang yang sedang tidur,dan mabuk. Jadi pada dasarnya pernikahan barulah bisa sah kalau ada saksi. Karena kalau tidak ada saksi termasuk pada nikah sirri sebagaimana yang sudah dikemukakan diatas.
3. Saksi Nikah Menurut Imam Maliki
Dalam hal ini Imam Maliki berbeda pendapat. Sebelum mengutarakan pendapat Malik bin Anas tentang kedudukan saksi dalam akad nikah, terlebih dahulu kita simak sebuah hadits yang mengemukakan tentang saksi dalam perkawinan, yang artinya : “ Dari “Imran bin Hussein, dari Nabi SAW. Beliau pernah bersabda :“ Tidak sah perkawinan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil“.Penuturan Ahmad bin Hanbal dalam riwayat anaknya,Abdullah“.
Kedudukan hadits tersebut menurut al-Tirmidzi dan dikeluarkan oleh al-Daruquthni dan al-Baihaqi adalah hadits Hasan, karena dalam isnadnya ada perawi yang dikategorikan Matruk yaitu Abdullah bin Mahruz. Demikian juga Malik menilai hadits tersebut sebagai hadits munqathi’. Imam Malik dan ulama hadits lainnya dalam meneliti hadits yang mengungkapkan imperative adanya saksi dalam perkawinan menggunakan pendekatan kebahasaan. Mereka berpendapat bahwa saksi itu bukan syarat sah, karena kalimat nafiy “ laa ilaaha “ dalam hadits di atas menunjukkan makna kesempurnaan (lil itmam) bukan keabsahan (lishihhah). Karena itu Imam Malik dan ulama hadits lain, mengatakan bahwa hadits yang mengemukakan adanya saksi dalam perkawinan semuanya adalah dha’if.
Oleh karena itu Imam Malik berpendapat bahwa dalil tentang adanya saksi dalam perkawinan bukan merupakan dalil qath’iy, tapi hanya dimaksudkan sad al-dzari’ah. Dan menurutnya saksi tidak wajib dalam akad nikah, tetapi perkawinan tersebut harus dii’lankan sbelum dukhul dan saksi bukanlah syarat sah suatu perkawinan. Alasan yang dikemukakan Imam Malik, yaitu ada hadits yang dinilainya lebih shahih, diantaranya : “ Diterima dari Malik ibn al-Mundzir, dia berkata "sesungguhnya Nabi SAW. Telah membebaskan shafiyah r.a. lalu menikahkannya tanpa adanya saksi “ ( HR Al-Bukhari ).


BAB III
KESIMPULAN

Kedudukan Saksi dalam akad nikah terbagi dua ada yang termasuk syarat sahnya sebuah perkawinan dan bila tidak ada dua orang saksi yang memenuhi syarat-syarat diatas maka pernikahannya tidak sah, yaitu pendapat Imam syafi’I, Iman Hanafi dan Imam Hambali. Sedangkan Imam malik tidak demikian, menurut beliau bahwa adanya saksi dalam akad nikah tidaklah menjadi syarat sah atau tidaknya sebuah perkawinan dengan alas an bahwa hadis tentang harus adanya saksi tidak qat’iy, tapi hanya dimaksudkan sad al-dzari’ah. Dan menurutnya saksi tidak wajib dalam akad nikah, tetapi perkawinan tersebut harus dii’lankan sbelum dukhul dan saksi bukanlah syarat sah suatu perkawinan. Alasan yang dikemukakan Imam Malik, yaitu ada hadits yang dinilainya lebih shahih, diantaranya : “ Diterima dari Malik ibn al-Mundzir, dia berkata ‘ sesungguhnya Nabi SAW. Telah membebaskan shafiyah r.a. lalu menikahkannya tanpa adanya saksi “ ( HR Al-Bukhari

DAFTAR FUSTAKA

Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A 2008. Fikih Munakahat. Jakarta: Kencana.
http://makalah-artikel.blogspot.com/2007/11/artikelarticlemakalah.html
http://nuri.pras.web.id/index.php?pilih=hal&id=22 Cafepojok - The Relax Community.pojok diskusi= Religius= Islam
KHI. 2007. Bandung: Fokusmedia
Drs. H. Rahmat Hakim. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia

Metode Penelitian Kuantitatif


Metode Penelitian Kuantitatif

A. Pengantar
Metode penelitian kuantitatif memiliki cakupan yang sangat luas. Secara umum, metode penelitian kuantitatif dibedakan atas dua dikotomi besar, yaitu eksperimental dan noneksperimental. Eksperimental dapat dipilah lagi menjadi eksperimen kuasi, subjek tunggal dsb. Sedangkan noneksperimental berupa deskriptif, komparatif, korelasional, survey, ex post facto, histories dsb.
Makalah ini membatasi pembahasan metode penelitian kuantitatif pada tiga aspek. Ketiga aspek tersebut adalah bagian dari noneksperimental, yaitu deskriptif, historis, dan ex post facto.
Ada beberapa istilah yang sering dirancukan di dalam penelitian. Istilah tersebut adalah pendekatan, ancangan, rencana, desain, metode, dan teknik. Di dalam makalah ini disinggung mengenai perbedaan istilah tersebut untuk didiskusikan dan dicarikan simpulan bersama-sama.

B. Pembahasan

1. Berbagai istilah di dalam penelitian
Secara umum, jenis penelitian berdasarkan pendekatan analisisnya dibedakan menjadi dua, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan ini lazim juga disebut sebagai pendekatan, ancangan, rencana atau desain.
Rancangan atau desain penelitian dalam arti sempit dimaknai sebagai suatu proses pengumpulan dan analisis penelitian. Dalam arti luas rancangan penelitian meliputi proses perencanaan dan pelaksanaan penlitian. Dalam rancangan pereperencaan dimulai dengan megadakan observasi dan evaluasi rerhadap penelitian yang sudah dikerjakan dan diketahui, sampai pada penetapan kerangka konsep dan hipotesis penelitian yang perlu pembuktian lebih lanjut.
Rancangan pelaksanaan penelitian meliputi prose membuat prcobaan ataupun pengamatan serta memilih pengukuran variable, prosedur dan teknik sampling, instrument, pengumpulan data, analisis data yang terkumpul, dan pelaporan hasil penelitian.
Metode penelitian lebih dekat dengan teknik. Misalnya, penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Dengan kata lain, metode deskriptif tersebut dapat dikatakan juga sebagai teknik deskriptif.

2. Penelitian Deskriptif

2.1 Pengertian

Metode deskripsi adalah suatu metode dalam penelitian status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.
Whitney (1960) berpendapat, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.
Dalam metode deskriptif, peneliti bisa saja membandingkan fenomena-fenomena tertentu sehingga merupakan suatu studi komparatif. Adakalanya peneliti mengadakan klasifikasi, serta penelitian terhadap fenomena-fenomena dengan menetapkan suatu standar atau suatu norma tertentu, sehingga banyak ahli meamakan metode ini dengan nama survei normatif (normatif survei). Dengan metode ini juga diselidiki kedudukan (status) fenomena atau faktor dan memilih hubungan antara satu faktor dengan faktor yang lain. Karenanya mentode ini juga dinamakan studi kasus (status study).
Metode deskriptif juga ingin mempelajari norma-norma atau standar-standar sehingga penelitian ini disebut juga survei normatif. Dalam metode ini juga dapat diteliti masalah normatif bersama-sama dengan masalah status dan sekaligus membuat perbandingan-perbandingan antarfenomena. Studi demikian dinamakan secara umum sebagai studi atau penelitian deskritif. Perspektif waktu yang dijangkau, adalah waktu sekarang atau sekurang-kurangnya jangka waktu yang masih terjangkau dalam ingatan responden.

2.2 Tujuan

Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.

2.3 Ciri-ciri Metode Deskriptif

• Untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian, sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka.(secara harafiah)
• Mencakup penelitian yang lebih luas di luar metode sejarah dan eksperimental.
• Secara umum dinamakan metode survei.
• Kerja peneliti bukan saja memberi gambaran terhadap fenomena-fenomena, tetapi :
o menerangkan hubungan,
o menguji hipotesis-hipotesis
o membuat prediksi, mendapatkan makna, dan
o implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan
o Mengumpulkan data dengan teknik wawancara dan menggunakan schedule qestionair/interview guide.

2.4 Jenis-jenis Penelitian Deskriptif

Ditinjau dari segi masalah yang diselidiki, teknik dan alat yang digunakan dalam meneliti, serta tempat dan waktu, penelitian ini dapat dibagi atas beberapa jenis, yaitu:
• Metode survei,
• Metode deskriptif berkesinambungan (continuity descriptive),
• Penelitian studi kasus
• Penelitian analisis pekerjaan dan aktivitas,
• Penelitian tindakan (action research),
• Peneltian perpustakaan dan dokumenter.
2.5 Kriteria Pokok Metode Deskriptif
Metode deskriptif mempunyai beberapa kriteria pokok, yang dapat dibagi atas kriteria umum dan khusus. Kriteria tersebut sebagai berikut:
1. kriteria umum
o Masalah yang dirumuskan harus patut, ada nilai ilmiah serta tidak terlalu luas.
o Tujuan penelitian harus dinyatakan dengan tegas dan tidak terlalu umum
o Data yang digunakan harus fakta-fakta yang terpercaya dan bukan merupakan opini.
o Standar yang digunakan untuk membuat perbandingan harus mempunyai validitas.
o Harus ada deskripsi yang terang tentang tempat serta waktu penelitian dilakukan.
o Hasil penelitian harus berisi secara detail yang digunakan, baik dalam mengumpulkan data maupun dalam menganalisis data serta serta study kepustakaan yang dilakukan. Deduksi logis harus jelas hubungannya dengan kerangka teoritis yang digunakan jika kerangka teoritis untukitu telah dikembangkan.
2. Kriteria Khusus
o Prinsip-prinsip ataupun data yang digunakan dinyatakan dalam nilai (value).
o Fakta-fakta atupun prinsip-prinsip yang digunakan adalah mengenai masalah status
o Sifat penelitian adalah ex post facto, karena itu, tidak ada kontrol terhadap variabel, dan peneliti tidak mengadakan pengaturan atau manupulasi terhadap variabel. Variabel dilihat sebagaimana adanya.
2.6 Langkah-langkah Umum dalam Metode Deskriptif
Dalam melaksanakan penelitian deskripif, maka langkah-langkah umum yang sering diikuti adalah sebagai berikut:
1.
1. Memilih dan merumuskan masalah yang menghendaki konsepsi ada kegunaan masalah tersebut serta dapat diselidiki dengan sumber yang ada.
2. Menentukan tujuan dari penelitian yang akan dikerjakan. Tujuan dari penelitian harus konsisten dengan rumusan dan definisih dari masalah.
3. Menelusuri sumber-sumber kepustakaan yang ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan.
4. Merumuskan hipotesis-hipotesis yang ingin diuji baik secara eksplisit maupun implisit.
5. Melakukan kerja lapangan untuk mengumpulkan data, gunakan teknik pengumpulan data yang cocok untuk penelitian.
6. Membuat tabulasi serta analisis statistik dilakukan terhadap data yang telah dikumpulkan. Kuranggi penggunaan statistik sampai kepada batas-batas yang dapat dikerjakan dengan unit-unit pengukuran yang sepadan.
7. Memberikan interpretasi dari hasil dalam hubungannya dengan kondisi sosial yang ingin diselidiki serta dari data yang diperoleh dan referensi khas terhadap masalah yang ingin dipecahkan.
8. Mengadakan generalisasi serta deduksi dari penemuan serta hipotesis-hipotesis yang ingin diuji. Berikan rekomendasi-rekomendasi untuk kebijakan yang dapat ditarik dari penelitian.
9. Membuat laporan penelitian dengan cara ilmiah.
Pada bidang ilmu yang telah mempunyai teori-teori yang kuat, maka perlu dirumuskan kerangka teori atau kerangka konseptual yang kemudian diturunkan dalam bentuk hipotesis-hipotesis untuk diverivikasikan. Bagi ilmu sosial yang telah berkembang baik, maka kerangka analisis dapat dijabarkan dalam bentuk-bentuk model matematika.
3. Penelitian Historis (Historical Researc)
3.1 Pengertian dan Tujuan
Tujuan penelitian histories adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memferivikasi, serta mensistensiskan bukti-bukti untukmenegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. Seringkali penelitian yang demikian itu berkaitan dengan hipotesis-hipotesis tertentu.
Contoh penelitian histories adalah studi mengenai praktek “bawon” di daerah pedesaaan di Jawa Tengah, yang dimaksud memahami dasar-dasarnya diwaktu yang lampau serta relevansinya untuk waktu kini; studi ini dimaksudkan juga untuk mentest hipotesis bahwa nilai-nilai social tertentu serta rasa solidaritas memainkan peranan penting dalam berbagai kegiatan ekonomi pedesaan. Ciri yang menonjol dari penelitian histories adalah;
1. Penelitian histories lebih bergatung pada data yang diobservasi orang lain dari pada yang diobsevasi oleh peneliti sendiri. Data yang baik akan dihasilkan oleh kerja yang cermat yag menganalisis keotentikan, ketepatan, dan peningnya sumber-sumbernya.
2. Berlainan dengan anggapan yang popular, penelitian haruslah tertib ketat, sistematis, dan tutas; seringakali penlitian yang dikatakan sebagai suatu penelitiaan histories hanyalah koleksi informasi-informasi yang tak layak, tak reliable, dan berat sebelah.
3. Penelitian histories tergantung kapada dua macam data, yaitu primer dan datasekunder. Data primer dipoleh dari sumberprimer, yaitu si peneliti (peneliti) secara langsung meakukan observasi atau menyaksikan kejadian-kejadian yang dituliskan. Dan data sekunder diperoleh dan sumber skunder, yaitu peneliti melaporkan hasil obsevasi orang lain yang satu kali atau lebih telah lepas dari kejadian aslinya. Dianatara kedua sumber itu, sumber primer dipandang sebagai memiliki otoritas sebagai bukti tangan pertama, dan diberi prioritas dalam pengumpulan data.
4. Untuk menentukan bobot data, biasa dilakukan dua macam kritik, yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal menanyakan dokumen relic itu otentik, sedang kritik internal menanyakan apabila data itu otentik, apabila data otentik, apabila data tersebut akurat dan relevan. Kritik internal harus menguji motif, keberat sebelahan, dan keterbatasan si penulis yang mngkin melebih-lebihkan atau mengabaikan sesuatu da memberikan informasi yang terpalsu. Evaluasi kritis inilah yang menyebbkan penelitian histories itu sangat tertib-ketat, yang dalam bayak hal lebih disbanding dari pada studi eksperimental.
5. Walaupun penelitian histories mirip dengan penelaahan kepustakaan yang mendahului lain-lain bentuk rancangan penelitian, namun cara pendekatan histories adalah tuntas, mencari informasi dan sumber yang lebih luas. Penelitian histories jga menggaliinformasi-informasi yang lebih tua dari pada yang umum dituntut dalam penelaahan kepustakaan, dan banyak juga menggali bahan-bahan tak diterbitkan yang tak dikutip dalam bahan acuan yang standar.

1. Langkah Pokok Untuk Melaksanakan Penlitian Histories Atau Rancangan Penelitian Historis
Definisi masalah. Ajukan pertanyaan-pertanyaan berikut kepada diri sendiri:
1. Rumusan tujuan penelitian dan jika mungkin, rumuskan hipotesis yang akan memberi arahdan focus bagi kegiatan penelitian itu.
2. Kumpulan data, denganselalu mengingat perbedaan anatara sumber primer dan sumber sekunder.
3. Suatu keterampilan yangsangat penting dalam penelitian histories adalah cara pencatatan data: dengan system kartu atau dengan system lembaran, kedua-duanya dapat dilakukan.
4. Evaluasi data yng diperoleh dengan melakukan kritik eksternal dan kritik internal.
4. Rancangan Ex Post Facto
4.1 Pengertian Ex Post Facto
Penelitian dengan rancangan ex post facto sering disebut dengan after the fact. Artinya, penelitian yang dilakukan setelah suatu kejadian itu terjadi. Disebut juga sebagai restropective study karena penelitian ini merupakan penelitian penelusuran kembali terhadap suatu peristiwa atau suatu kejadian dan kemudian merunut ke belakang untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejadian tersebut. Dalam pengertian yang lebih khusus, (Furchan, 383:2002) menguraikan bahwa penelitian ex post facto adalah penelitian yang dilakukan sesudah perbedaan-perbedaan dalam variable bebas terjadi karena perkembangan suatu kejadian secara alami.
Penelitian ex post facto merupakan penelitian yang variabel-variabel bebasnya telah terjadi perlakuan atau treatment tidak dilakukan pada saat penelitian berlangsung, sehingga penelitian ini biasanya dipisahkan dengan penelitian eksperimen. Peneliti ingin melacak kembali, jika dimungkinkan, apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya sesuatu.
4.2 Perbandingan Antara Ex post Facto dengan Eksperimen
Dalam beberapa hal, penelitian ex post facto dapat dianggap sebagai kebalikan dari penelitian eksperimen. Sebagai pengganti dari pengambilan dua kelompok yang sama kemudian diberi perlakuan yang berbeda. Studi ex post facto dimulai dengan dua kelompok yang berbeda kemudian menetapkan sebab-sebab dari perbedaan tersebut. Studi ex post facto dimulai dengan melukiskan keadaan sekarang, yang dianggap sebagai akibat dari faktor yang terjadi sebelumnya, kemudian mencoba menyelidiki ke belakang guna menetapkan faktor-faktor yang diduga sebagai penyebabnya.
Penelitian ex post facto memiliki persamaan dengan penelitian eksperimen. Logika dasar pendekatan dalam ex post facto sama dengan penelitian eksperimen, yaitu adanya variabel x dan y. Kedua metode penelitian tersebut membandingkan dua kelompok yang sama pada kondisi dan situasi tertentu. Perhatiannya dipusatkan untuk mencari atau menetapkan hubungan yang ada di antara variabel-variabel dalam data penelitian. Dengan demikian, banyak jenis informasi yang diberikan oleh eksperimen dapat juga diperoleh melalui analisis ex post facto.
Dalam penelitian eksperimen, pengaruh variabel luar dikendalikan dengan kondisi eksperimental. Variabel bebas yang dianggap sebagai penyebab dimanipulasi secara langsung untuk meminimalkan pengaruh terhadap variabel terikat. Melalui eksperimen, peneliti dapat memperoleh bukti tentang hubungan kausal atau hubungan fungsional di antara variabel yang jauh lebih menyakinkan daripada yang dapat diperoleh menggunakan studi ex post facto.
Peneliti dalam penelitian ex post facto tidak dapat melakukan manipulasi atau pengacakan terhadap variabel-variabel bebasnya. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan dalam variabel-variabelnya sudah terjadi. Peneliti dihadapkan kepada masalah bagaimana menetapkan sebab dari akibat yang diamati tersebut. Furchan (383:2001) menyatakan bahwa dengan tidak adanya kemungkinan peneliti untuk melakukan manipulasi atau pengacakan.
Contoh perbedaan antara penelitian ex post facto dengan eksperimen adalah sebagai berikut. Sebuah penelitian berjudul Pengaruh Kecemasan Siswa pada Waktu Mengerjakan Ujian Terhadap Hasil Ujian Mereka dapat didekati dengan dua metode, yaitu eksperimen dan eks post facto.
1) Pendekatan Eksperimen
Dalam judul di atas terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam judul di atas adalah kecemasan siswa dan ujian nasional. Variabel terikatnya adalah hasil ujian.
Ciri dari penelitian eksperimen adalah adanya manipulasi terhadap variabel bebas. Dari kondisi di atas, variabel bebas dapat dimanipulasi menjadi cemas dan tidak cemas. Konkritnya, sebuah kelas terdiri dari kelas A dan B. Masing-masing kelas dimanipulasi kondisinya menjadi kelas A menjadi kelas yang cemas, sementara kelas B menjadi kelas yang netral (pengendali).
Pengkondisian kelas dapat dilakukan dengan memberikan sugesti kepada kelas A bahwa ujian yang diberikan akan berpengaruh terhadap kenaikan kelas. Artinya, siswa yang memiliki nilai yang rendah bisa dimungkinkan tidak naik kelas. Sementara kelas B dikondisikan netral. Dengan pengertian bahwa ujian di kelas B hanyalah untuk mengukur kemampuan pemahaman terhadap suatu kompetensi tanpa adanya pengaruh dari hasil dengan kenaikan kelas.
Setelah kelas sudah terkondisikan, maka diberikan soal dengan tingkat kuantitas dan kualitas kesulitan yang sama. Pada waktu yang bersamaan, lembar jawaban dikumpulkan bersama dan dilakukan pengoreksian terhadap hasil jawab dari kelas A dan B. Apabila terjadi perbedaan nilai, semisal, nilai kelas A lebih tinggi daripada kelas B, maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kecemasan ternyata mampu meningkatkan nilai ujian. Anggapan lain, bahwa dengan adanya kecemasan membuat siswa semakin berpacu untuk mendapatkan yang terbaik.
2) Pendekatan Ex post Facto
Hal penting dalam pendekatan ex post facto adalah tidak adanya manipulasi terhadap variabel. Dalam kasus di atas, dapat didekati dengan ex post facto dengan melihat situasi kelas A dan B yang sebelumnya tidak diadakan manipulasi. Artinya, kelas tersebut berjalan secara alami. Misalnya, hasil ujian kelas A dan B menunjukkan perbedaan dari satu siswa ke siswa lainnya. Dari hasil tersebut, dilakukan klasifikasi antara siswa yang memiliki nilai tinggi dengan siswa yang memiliki nilai rendah. Kemudian dihubungkan antara kecemasan dengan hasil nilai. Misalnya ditemukan kesimpulan bahwa nilai di atas rata-rata dikerjakan oleh siswa yang memiliki kecemasan. Oleh karena itu, pengaruh kecemasan siswa memang berpengaruh terhadap hasil ujian, yaitu menjadi lebih baik.
Penelitian dengan menggunakan pendekatan ini tentu saja memiliki kekurangan. Dari kasus di atas dapat terlihat satu celah kelemahan bahwa bisa jadi adanya faktor ketiga selain kecemasan yang membuat nilai ujian meningkat. Hal ini dimungkinkan adanya faktor ketiga, yaitu kecerdasan. Selain kecemasan, bisa dimungkinkan bahwa kecemasan adalah situasi lain, sedangkan kecerdasan menjadi penunjang utama.

1. Kekurangan Pendekatan Ex Post Facto
Pendekatan ex post facto memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tidak adanya kontrol terhadap variabel bebas.
Oleh karena tidak adanya kontrol terhadap variabel bebas, maka sukar untuk memperoleh kepastian bahwa faktor-faktor penyebab yang relevan telah benar-benar tercakup dalam kelompok faktor-faktor yang sedang diselidiki.
1. Kenyataan bahwa faktor penyebab bukanlah faktor tunggal, melainkan kombinasi dan interaksi antara berbagai faktor dalam kondisi tertentu untuk menghasilkan efek yang disaksikan, menyebabkan soalnya sangat kompleks.
2. Suatu gejala mungkin tidak hanya merupakan akibat dari sebab-sebab ganda, tetapi dapat pula disebabkan oleh sesuatu sebab pada kejadian tertentu dan oleh lain sebab pada kejadian lain.
3. Apabila saling hubungan antar dua variabel telah diketemukan, mungkin sukar untuk menentukan mana yang sebab dan mana yang akibat.
4. Kenyataan bahwa dua, atau lebih, faktor saling berhubungan tidaklah mesti memberi implikasi adanya hubungan sebab akibat.
5. Menggolongkan-golongkan subjek ke dalam kategori dikotomi (misalnya golongan pandai dan golongan bodoh) untuk tujuan perbandingan, menimbulkan persoalan-persoalan, karena kategori-kategori itu sifatnya kabur, bervariasi, dan tak mantap.
6. Studi komparatif dalam situasi alami tidak memungkinkan pemilihan subyek secara terkontrol. Menempatkan kelompok yang telah ada yang mempunyai kesamaan dalam berbagai hal kecuali dalam hal dihadapkannya kepada variabel bebas adalah sangat sukar.
1.
1. Keunggulan Penelitian dengan Pendekatan Ex Post Facto
Metode ini baik untuk berbagai keadaan kalau metode yang lebih kuat, yaitu metode eksperimental, tak dapat digunakan. Apabila tidak selalu mungkin untuk memilih, mengontrol, dan memanipulasikan faktor-faktor yang perlu untuk menyelidiki hubungan sebab akibat secara langsung. Apabila pengontrolan terhadap semua variabel kecuali variabel bebas sangat tidak realistik dan dibuat-buat, yang mencegah interaksi normal dengan lain-lain variabel yang berpengaruh.
Apabila control di laboratorium untuk berbagai tujuan penelitian adalah tidak praktis, terlalu mahal, atau dipandang dari segi etika diragukan atau dipertanyakan. Studi kausal-komparatif menghasilkan informasi yang sangat berguna mengenai sifat-sifat gejala yang dipersoalkan: apa sejalan dengan apa, dalam kondisi apa, pada perurutan dan pola yang bagaimana, dan sejenis dengan itu. Perbaikan-perbaikan dalam hal teknik, metode statistik, dan rancangan dengan kontrol parsial, pada akhir-akhir ini telah membuat studi kausal komparatif itu lebih dapat dipertanggungjawabkan.

C. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga metode penelitian kuantitatif memiliki perbedaan jika ditilik dari tujuannya. Perbedaan tersebut tampak sebagai berikut.
1. Penelitan deskriptif yang biasa juga disebut dengan penelitian survay adalah penelitian yang mencoba Untuk membuat pencandraan/gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat pada suatu obyek penelitian tertentu
2. Penelitian historis untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif,dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta mensintesakan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat
3. Penelitian ex post facto bertujuan untuk melacak kembali, jika dimungkinkan, apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya sesuatu.

from: http://lubisgrafura.wordpress.com/metode-penelitian-kuantitatif/


Senin, 14 Desember 2009

PERNIKAHAN DINI


PENDAHULUAN

Pemuda adalah generasi yang bergantung padanya nasib bangsa dimasa mendatang, sebuah ungkapanengatakan, “baik buruknya suatubangsa dimasa yang akan datang, ditentukan oleh baik buruknya pemuda dimasa sekarang”. Globalisasi dan modernisasi yang terjadi pada saat ini adalh menjadi tantangan yang begitu berat bagi seorang pemuda, mau atau tidak harus dihadapi dengan jalan yang sebaik-baiknya, karena kalau tidak satu dari kader bangsa akan tenggelam dalam arus dan potensi yang besar akan juga ikut hilang.
Maraknya CD, VCD, majalah dan foto-foto yang penuh dengan kesan negatif beredaran di,masyarakat dan situs-situs di internet, hal ini dengan mudahnya akses dimanapun perlu kita waspadai dan ditanggulangi dengan cara yang sangat efektif dan ampuh, kami menawarkan salah satu alternatif dari permasalahan tersebut yaitu dengan menikah dini, tidak menafikkan bahwa penulis sendiri belum menikah akan tetapi dengan melihat manfaat yang terkandung dalam nikah dini, kami berusaha ikut untuk mensosialisasikan kepada masyarakat luas tentang hal ini, semiga bermanfaat.
Rumusan masalah :
1. Apakah pengertian dini itu?
2. Apa alasan kita mesti menikah dini?
3. Apa hukum menikah?
4. Apa tujuan dan keutamaannya?
5. Apa keuntungan menikah dini?
6. Masalah seputar nikah dini?
7. Kesimpulan

PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah Dini

Menurut syara’, menikah adalah sebuah ikatan seorang waniata dengan seorang laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu ( ijab dan qabul ) yang memenuhi syarat dan rukunnya.
Arti pernikahan dalam islam adalah suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam rumah tangga dan berketurunan,yang dilaksakan menurut ketentuan syariat islam.
Sedangkan dini tersimpul dalam ungkapan seorang penulis,”Banyak orang mengatakan bahwa menikah saat kuliah akan mengganggu dan merugikan kita, padahal sangat sangat menguntungkan. Bahkan ada yang mengatakn bahwa barang siapa mengetahui tentang keutamaan menikah sejak dini ( kuliah ) maka orang tersebut tidak ingin menundannya hingga esok hari, apalagi tahun depan”.
Dari itu maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud nikah dini adalah sebuah ikatan suami istri yang dilakukan pada saat kedua calon suami dan istri masih usia muda. Meskipun muda ini berbeda pengertian menurut daerah tertentu.

B. Alasan Menikah Dini

Al-Qur’an dan hadits banyak yang menjelaskan tentang anjuran untuk menikah,antara lain :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. An-Nur(24:32),
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka ,jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ,Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu . An-Nur(24:33)
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. An-Nisa ( 4:3)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Ar-Rum ( 21)

C. Hukum Menikah

Hukum Menikah ada lima macam :
1. wajib
menikah menjadi wajib bagi laki-laki/ perempuan yang tidak dapat menhan nafsu seksualnya dan khawatir melakukan perzinaan.
2. Sunah
Laki-laki yang punya niat dan mampu, atau perempuan yang sudah punya niat dan bersedia patuh pada suami atau perempuan yang belum punya niat tapi membutuhkan perlindungan dan nafkah dari suami.
3. Mubah
Laki- laki yang mempunyai niat tapi belum mampu mendirikan rumahtangga atau laki-laki yang belum punya niat tapi secara materi mampu atau perempuan yang belum punya niat untuk menikah.
4. Makruh
Laki-laki yang belum punya niat dan belum mampu mendirikan rumahtangga atau perempuan yang sudah punya niat tapi ragu-ragu untuk melaksakannya.
5. Haram
Lak-lali/ perempuan yang menikah dengan maksud untuk tidak melaksanakan kewajiban sebagai suami istri.

D. Tujuan dan Keutamaan Menikah

1. Melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, karena nikah adalah salah satu sunnah yang dianjurkan Rasulullah SAW. Dan sudah sepatutnya kita melaksanakannya.
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. ( Al-Ahzab :36 )
2. Menjaga mata, menetramkan jiwa, memelihara nafsu seksualitas, membina kasih sayng dan menjaga kehormatan dan memelihara kepribadian.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Ar-Rum ( 21)
Rasulullah SAW bersabda :
“ Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian memmiliki kemampuan untuk menikah maka menikahlah. Karena sesungguhnya ini dapat mencegah pandangan mata kalian dan kehormatan kalian. Sedangkan bagi siapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa dan puasa itu adalah menjadi perisai baginya”. (HR. BUKHARI dan MUSLIM )
3. Menikah adalah salah satu cara menyempurnakan agama, Allah akan memberikan separuhnya bagi mereka yang menikah. Rasulullah bersabda :
“Jika seorang hamba menikah, mak sesungguhnya ia telah menyempurnakn setengah dari agamanya. Oleh karena itu bertaqwalah kepada Allah untuk menyerpurnakan sebagian yang lainnya”. ( HR. Baihaqi )
“Ada tiga golongan yang pasti ditolong Allah : yaitu budak yang ingin memerdekakan dirinya dengan cara bekerja keras, yang ingin melunasi hutangnya, orang yang menikah demi menjaga diri dari perbuatan maksiat dan para pejuang dijalan Allah”. ( HR. Tirmidzi )
4. memelihara dan membiana kualitas-kualitas keturunan yang salih dan salihah, Rasulullah membanggakn umatnya yang banyak dihari kiamat nanti.
5. melaksakan pembangunan materil dan spirituil dalam kehidupan keluarga
E. Keuntungan Menikah Dini ( saat kuliah )
1. masa kuliah ( usia 18-25 ) adalah masa produktif dan subuh
2. banyaknya kamudahan dalam persiapan dan pelaksakan nikah
3. memtangkan kepribadian dan kedewasaan
4. adanya ketenangan jiwa
5. memiliki teman setia sebagai motivator dan pembimbing
6. adanya keringanan beban hidup
7. aktifitas dan kegiatan akan terfokus dan terkonsentrasi
8. meningkatkan kecerdasan emosional dan spiritual (ESQ)
9. meningkatkan kecerdasan finansial
10. lebih mudah meraih kesuksesan
11. Ada teman curhat
12. Bisa belajar sambil bermesraan
13. Berangkat ke kampus berdua
14. Ada yang bantu mengerjakan tugas
15. Ada yang menghibur sisela-sela penatnya kuliah

F. Problematika Pra Pernikahan

1. Terlalu Pemilih
Memilih pasangan adalah hal yang harus dikerjakan tapi jangan sampi terlalu, Rasulullah SAW bersabda :
“ Perempuan itu dinikahi dengan empat perkara, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Namun nikahilah karena agamanya ( karena jika tidak ) naka kanu akan sengsara “. (HR.Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’I )
“ Dari Abdullah bin Umar Rasulullah SAW bersabda, “ janganlah kamumenikahi wanita karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatnya hina. Janganlah kamu menikahi wanita karena hartanya, mungkin saja harta itu melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita itu karena agamanya, sebab seorang wanita yang salihah, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama”. HR. Ibnu Majah
2. Belum Kerja
Allah berfirman,
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka ,jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ,Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu . An-Nur(24:33)
Dengan keyakinan yang mantab dan usaha yang sebaik-baiknya, Allah pasti akan menolong kita.
3. Orang Tua Belum Merestui
Kita menyikapi semua ini dengan sabar, berdo’a dan usaha yang baik. Kemudian jika segala upaya telah dilakukan dan belum juga berhasil, maka sikap terbaik adalah bertawakkal kepada Allah dan berusaha berhusnuzdon kepada-Nya.
4. Menunda Pernikahan Karena Khawatir tidak Lulus
Rasulullah SAW bersabda,
“ Bukan termasuk golonganku orang yang merasa khawatir akan terkunkung hidupnya karena menikah kemudian ia tidak menikah”. HR. Thabrani
5. Calon Suami Lebih Muda
Adalh suatu yang tidak bermasalah jika calon suami lebih muda atau calon istri lebih tua, yang penting pemahan terhadap agama adalah baik.
G. Efek Nikah Dini
Situs : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1166902
Nikah Dini Berisiko Kanker Mulut Rahim
________________________________________
PERNIKAHAN usia dini di bawah 15 tahun, menyimpan risiko cukup tinggi bagi kesehatan perempuan, terutama pada saat hamil dan melahirkan. Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit Balikpapan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SpOG mengatakan, perempuan yang menikah di usia dini memiliki banyak risiko, sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid.
“Ada dua dampak medis yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini ini, yakni dampak pada kandungan dan kebidanannya,” ujarnya. Disebutkan, penyakit kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini, antara lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut rahim. Kenapa kedua penyakit ini paling berisiko diderita wanita yang menikah di usia dini? Secara medis, lelaki yang akrab dipanggil Yasa ini menjelaskan, menikah di usia tersebut dapat mengubah sel normal (sel yang biasa tumbuh pada anak-anak) menjadi sel ganas yang akhirnya dapat menyebabkan infeksi kandungan dan kanker.
Hal ini dikarenakan, adanya masa peralihan sel anak-anak ke sel dewasa. Padahal, pertumbuhan sel yang tumbuh pada anak-anak berakhir pada usia 19 tahun. “Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, rata-rata penderita infeksi kandungan dan kanker mulut rahim adalah wanita yang menikah di usia dini alias di bawah usia 19 atau 16 tahun,” paparnya.
Untuk risiko kebidanan, dia menjelaskan, hamil di bawah usia 19 tahun, bisa berisiko pada kematian, selain kehamilan di usia 35 tahun ke atas. Risiko lain, lanjutnya, hamil di usia muda juga rentan terjadinya pendarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di masa kehamilan.
“Risiko meninggal dunia akibat keracunan kehamilan juga banyak terjadi pada wanita yang melahirkan di usia dini. Salah satunya penyebab keracunan kehamilan ini adalah tekanan darah tinggi atau hipertensi,” ujarnya.
Dikatakan Yasa, anatomi tubuh wanita yang berusia di bawah 16 atau 19 tahun masih dalam pertumbuhan, termasuk juga pinggul dan rahimnya. Jadi kalau hamil dan melahirkan akan berisiko lahir susah hingga kematian. Sementara Irwansyah Dani, dokter umum sekaligus konsultan kecantikan dan kesehatan wanita di Samarinda menjelaskan, usia di bawah 15 tahun masuk dalam tahap pertumbuhan. Termasuk pada perut dan rahim anak perempuan. “Sehingga jika di usia muda itu hamil dan melahirkan, risiko kematiannya sangat besar. Sebab, tubuhnya tidak akan kuat menahan sakit,” sebutnya.
Risiko lain katanya, dari sisi psikologis. Secara mental atau emosional, anak seusia itu masih ingin menikmati kebebasan. Entah itu bersekolah, bermain, atau melakukan hal-hal lain yang biasa dilakukan oleh anak-anak atau remaja pada umumnya.
"Dengan demikian, dilihat dari segi apapun, anak banyak dirugikan. Maka itu, orangtua wajib berpikir masak-masak jika ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah umur," ujarnya.
Dia bahkan mengatakan, pernikahan dini bisa dikategorikan kekerasan psikis dan seks. Si anak akan mengalami trauma ketika melakukan hubungan seks pertama kali. “Itu karena emosinya yang masih labil,” tutur Irwan.
Ia juga menambahkan, masih tingginya kasus kematian ibu dan anak di Indonesia sebaiknya menjadi perhatian para orangtua. Jika belum siap secara fisik maupun mental untuk menikah tambahnya, sebaiknya jangan dulu menikah. "Lebih baik menikah saat usia sudah benar-benar matang, fisik dan mental sudah siap. Kalau nikah di usia anak-anak atau remaja, banyak risiko dan efek jangka panjangnya yang sangat tidak baik bagi anak itu sendiri," pungkasnya.
Bagaimana pengalaman mereka yang menikah di usia dini? Anayanti, warga Jl. DI. Pandjaitan Samarinda, menikah saat berusia 14 tahun. Dia mengakui saat melahirkan, ia harus berjuang mati-matian. “Waktu hamil muda, dokter sudah mengingatkan, kandungan saya tak kuat. Bahkan bisa melahirkan bayi prematur. Dokter juga bilang, pada waktu melahirkan nanti, rasanya sakit sekali. Ternyata benar. Bisa dibilang, air mata saya kering karena menahan sakit sewaktu melahirkan. Tapi untungnya saya dan bayi saya selamat. Padahal, dokter sempat bilang pada suami saya nadi saya lemah sekali,” katanya.
H. Kesimpulan
Sungguh melihat dari manfaat dan keampuhan nikah dini dalam menanggulangi dampak globalisasi maka marilah kiat membuka mata kita untuk melihat nikah dini dengan lebih positif.
Menjaga para remaja agar tidak tenggelam dalam keburukan adalah suatu hal yang tidak bisa kita tunda, maka membudayakan nikah dini adalah salah satu altelnatifnya. Akan tetapi tetap perlu adanya bimbingan orang tua agar efek buruknya dapat diminialisir.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Suryadi, Sukses Menikah Saat Kuliah ( Depok, Pustaka Nauka,2005 )
Abdullah udik, Kuliah Kerja dan Nikah Asyik Banget ( Jogjakarta, Pro-U Media, 2006 )
Sadiida,Qoulan, Jangan Takut Menikah Saat Kuliah ( Surakarta, Mandiri Visi media, 2005 )
Suryadi, Sukses Menikah Saat Kuliah ( Depok, Pustaka Nauka,2005 ) hal. 17-18
ibid,hal.16
ibid,hal.20-21
ibid,hal.22-24
ibid, hal.31-40
Abdullah udik, Kuliah Kerja dan Nikah Asyik Banget ( Jogjakarta, Pro-U Media, 2006 ) hal. 175-182
Sadiida,Qoulan, Jangan Takut Menikah Saat Kuliah ( Surakarta, Mandiri Visi media, 2005 ) hal.117-126

from: http://1000motivasi.blogspot.com/2009/06/pernikahan-dini.html

Wakaf Produktif, sebuah Renungan


Wakaf Produktif, sebuah Renungan
Zaim Saidi
Mengoptimalkan Wakaf: dari Liability ke Asset Management

Studi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta (2006), menunjukkan bahwa harta wakaf di Indonesia secara nasional sangatlah besar. Jumlah unit wakaf yang terdata mencapai hampir 363 ribu bidang tanah, dengan nilai secara nominal diperkirakan mencapai Rp 590 trilyun! Ini setara dengan lebih dari 67 milyar dolar AS (kurs Rp 9.250/dolar). Jumlah ini tentu saja sangat besar. Andai saja seluruh harta wakaf ini dijual, hasilnya dapat menutupi 100% total utang luar negeri Pemerintah Republik Indonesia saat ini (awal 2008), yang besarnya ’cuma’ 60 milyar dolar AS. Untuk memahami betapa besarnya harta wakaf ini, dalam konteks lain, bandingkan nilainya yang setara dengan sekitar 85% APBN RI sekarang ini, yang besarnya sekitar Rp 700 triliun/tahun.
Tapi, menjuali aset wakaf tentu tidak dapat kita lakukan begitu saja, karena itu berarti menyalahi prinsip wakaf: mengelola aset pokoknya, dan memanfaatkan hasilnya. Dengan kata lain, kemungkinan yang dapat kita peroleh dari pengelolaan wakaf, justru jauh lebih hebat lagi. Bukan saja aset-pokok triliunan rupiah itu tetap dapat kita pertahankan, dan tidak dijuali seperti yang terjadi pada aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kini satu-per-satu berpindah ke tangan kapitalis asing, sumber utama persoalan bangsa kita (utang luar negeri) akan dapat kita selesaikan.

Tetapi mengapa saat ini wakaf yang begitu besar itu tidak memperlihatkan kontribusi sosialnya pada kehidupan umat, yang justru semakin terpuruk dalam kesulitan hidup? Mengapa kita, sebagai bangsa, masih juga harus terus-menerus mengemis utang kepada para kapitalis internasional?

Marilah kita tengok data-data kita dengan lebih rinci lagi. Ratusan ribu aset wakaf di atas tersebar di seluruh Indonesia, dengan luasan lahan yang sangat bervariasi, dari sekadar puluhan meter persegi sampai ratusan hektar. Kalau diambil rata-ratanya, luas lahan wakaf di Indonesia sekitar 0.5 hektar per unit, memang tidaklah luas. Namun, kalau diuangkan, nilainya sekitar Rp 1.6 milyar/unit, sebuah angka yang sebenarnya tidak terlalu gurem. Persoalan yang lebih mendasar tampaknya adalah pada pemanfaatannya: 79% dari perwakafan tersebut digunakan untuk pemebangunan masjid/mushola, 55% untuk lembaga pendidikan, 9% untuk pekuburan, dan 3% atau kurang untuk fasilitas umum lainnya (sarana jalan, sarana olah raga, WC umum, dan sejenisnya).

Data tersebut merupakan jawaban multiple dari survei UIN di atas, yang dapat kita simpulkan bahwa pemanfaatan wakaf di Indonesia hampir sepenuhnya untuk keperluan konsumtif. Tentu ada contoh-contoh pengelolaan wakaf yang lebih produktif, dan karenanya kontribusi sosialnya sangat dinikmati oleh umat. Ambilah kasus wakaf Pondok Modern Gontor, sebuah lembaga pendidikan yang sama-sama kita kenal mumpuni. Pondok Gontor ditopang oleh sekitar 320 hektar lahan wakaf, 212 hektar di antaranya adalah sawah produktif. Dari sini Pondok Gontor memperoleh hasil panen senilai Rp 726 juta, tiap dua musim panen (data 2003). Selain dari sawah padi, Pondok Pesantren Gontor juga memperoleh pendapatan dari kebun cengkeh dan kegiatan niaga lain di lingkungannya, meski relatif lebih kecil. Dengan dukungan dana wakaf ini, Pondok Gontor mampu menyediakan jasa pendidikan bermutu, bagi sekitar 35 ribu siswa, dengan relatif murah.

Dengan bercermin pada kasus Pondok Gontor kita dapat melihat bahwa pengelolaan wakaf di Indonesia umumnya mengikuti paradigma yang tidak tepat, yakni seperti mengelola sedekah biasa, dana wakaf dipakai untuk kegiatan cost center. Sumberdaya yang disumbangkan langsung dibelanjakan. Dalam bahasa finansial inilah yang acap disebut sebagai liability management, yang memang merupakan tujuan dari bentuk-bentuk sedekah umumnya, tapi bukan wakaf. Sedang wakaf, sebagaimana diajarkan oleh Rasul Sallallahualaihiwassalam dalam hadisnya yang terkenal, adalah ‘menahan pokoknya dan hanya memanfaatkan buah’-nya. Dalam bahasa finansial ini dikenal sebagai asset management. Dalam tradisi wakaf aset ini dapat berupa sawah, perkebunan, toko, pergudangan, serta aneka bentuk usaha niaga – intinya segala jenis kegiatan produktif.

Di zaman modern ini kita memang menghadapi situasi yang berbeda, ketika umumnya aset tidak lagi berada di tangan masyarakat, tapi dikuasai segelintir elit, khususnya para pemilik modal. Jutaan hektar tanah (untuk real estate), perkebunan, sawah, bahkan hutan-hutan kita; serta aset lain berupa pabrik-pabrik dan usaha perdagangan, hampir sepenuhnya kini mereka kuasai. Sementara milyaran umat manusia hanya mendapatkan jatah gaji bulanan, sebagai buruh upahan, yang menjadikannya sulit bagi seseorang untuk mendapatkan aset, berupa sebuah rumah tipe 36 sekalipun, apalagi aset untuk diwakafkan.

Dalam konteks inilah kita perlu memahami peran penting wakaf, dan khususnya yang kini diperkenalkan sebagai ‘wakaf tunai’. Penghimpunan wakaf tunai, dari ribuan atau jutaan orang, adalah jalan bagi umat Islam untuk mengubah aset yang kini dikuasai segelintir orang tersebut, sedikit-demi-sedikit, kembali menjadi milik umum. Pengelolaan wakaf tunai harus mengikuti kaidah dasar wakaf, dalam paradigma asset management, sebagaimana diteladankan oleh Pondok Pesantren Gontor, dan bukan dibelanjakan langsung bagi sedekah sosial. Dengan kata lain, dana-dana wakaf tunai yang dimobilisasi para nadhir, pertama-tama haruslah dijadikan aset, dikelola secara produktif, barulah surplusnya digunakan sebagai sedekah.

Jadi, memanfaatkan dana wakaf untuk langsung membangun sebuah masjid, tentu tidak salah, tapi kurang tepat. Asas-asas wakaf yaitu keswadayaan, keberlanjutan, dan kemandirian, tidak dapat kita penuhi di sini. Dengan kata lain ‘ke-jariah-annya’ tidak kita peroleh. Kemaslahatannya menjadi berkurang, bahkan sebaliknya, alih-alih memberikan kemaslahatan, acap kali harta wakaf tersebut justru menjadi beban bagi umat Islam secara keseluruhan, yang terus-menerus harus mengelola dan memeliharanya.

Semestinya dana-dana wakaf tersebut dipakai untuk membangun kompleks pertokoan, atau mengoperasikan sebuah pompa bensin, atau perkebunan kelapa sawit, dan dari hasilnya, barulah dibangun masjid-masjid atau sekolah-sekolah. Inilah tantangan dan tugas para nadhir kita saat ini. Peran para nadhir bukanlah cuma memobilisasi dana wakaf lalu langsung membelanjakannya sebagai sedekah, tetapi mewujudkannya terlebih dahulu menjadi aset, lalu mengelolanya secara produktif baru memanfaatkan hasilnya sebagai sedekah. Hal ini bukan saja memerlukan wawasan, tapi juga kemampuan, para nadhir dalam bernivestasi secara halal. Insya Allah Tabung Wakaf Indonesia (TWI), yang sekarang hampir genap tiga tahun umurnya, akan menjadikannya sebagai paradigma dalam mengoptimalkan wakaf di Indonesia. Dengan dukungan Anda semua, para wakif, tentunya.

Mengalirkan Surplus Wakaf

Wakaf adalah sedekah khusus dan istimewa. Para wakifnya dijanjikan akan memperoleh pahala abadi, yang tidak putus karena kematiannya di dunia. Secara khusus Rasulallah SAW menyatakan bahwa ada tiga hal yang tak terputus karena kematian seseorang, yaitu “ilmu pengetahuan yang diamalkan, anak-anak yang saleh, dan sedekah jariah”. Rasulallah SAW mendorong kita agar meninggalkan harta demi keberlanjutan Islam dan menopang keberlangsungan umat yang masih hidup di dunia.


Dalam haditsnya yang lain, secara lebih khusus, Rasulallah SAW, memberikan panduannya tentang sedekah jariah ini, yakni dengan cara “menahan pokoknya dan mengalirkan hasilnya”. Karakteristik wakaf, atau sedekah jariah, karenanya adalah keswadayaan, keberlanjutan, dan kemanfaatannya untuk kemaslahatan umum. Untuk memperoleh pahala yang abadi, maka manfaat yang dapat diambil dari wakaf pun haruslah lestari. Dalam metafor lain mengelola wakaf dapat dilukiskan sebagai “memelihara angsa yang bertelor emas”.

Bila memahami prinsip sedekah jariah tersebut maka para nadhir bukan saja harus meningkatkan kemampuan dan kualitas kerjanya, tetapi juga mengubah cara pandang (paradigma) terhadap harta wakaf yang dikelolanya. Keutuhan aset wakaf tidak perlu dipahami secara harfiah berarti tidak boleh berubah sedikit pun. Keutuhan aset, perlu dipahami dalam konteks yang diajarkan oleh Rasulallah SAW di atas, yakni dalam pengertian “menahan pokok dan mengalirkan hasil”. Maka, justru peran para nadhir adalah untuk mengembangkannya, atau “mengutuhkannya”, dalam pengertian untuk selalu diperbarui.

Dengan kata lain aset wakaf haruslah aset berputar, berfungsi produktif, hingga menghasilkan surplus, dan darinya ada yang terus dapat dialirkan – yakni surplusnya tersebut – tanpa mengurangi modalnya. Atau, ketika barang modal itu aus, atau habis terpakai, dapat diperbarui kembali, dari hasil surplus tersebut. Ibarat sang angsa yang bertelor emas, kita bisa selalu memanfaatkan telor-telor emasnya, tanpa menyembelih induk angsanya.

Dalam kondisi tertentu, tentu saja, wakaf dapat langsung dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumtif. Tetapi wakaf konsumtif relatif terbatas jenisnya, seperti untuk keperluan pembangunan masjid, kuburan, jembatan, jalan, serta sarana-sarana umum lainnya. Tetapi, bentuk-bentuk sarana umum ini pun, pada gilirannya tetap harus ditopang untuk pemeliharaannya. Lagi-lagi kita memerlukan sumber dana yang terus mengalir, dan di sinilah wakaf produktif, yang menghasilkan telor emas secara terus-menerus, menjadi lebih utama dan bermanfaat.

Tentu, harus pula dipahami secara tepat, berproduksi, apalagi menggunakan aset-aset wakaf sebagai modalnya, tidaklah berarti semata-mata mengembangkan dan mengakumulasikan modal demi pengamulasian modal itu sendiri. Bila itu yang dilakukan, maka yang terjadi adalah justru melawan perintah Allah SWT sendiri, untuk tidak “menumpuk-numpuk harta” atau “memutarkan hanya pada orang-orang kaya”. Bahkan, bila kita mengalirkan surplusnya sekali pun, tetapi surplus yang didapatkan dengan cara yang tidak mengikuti kaidah syariat, misalnya melalui cara-cara bisnis kapitalistik, maka yang akan kita peroleh bukanlah kesuburan sedekah.

Maka, tugas para nadhir dalam mengembalikan paraktek wakaf yang tepat, akan berarti juga mengembalikan muamalah. Beroperasinya wakaf secara tepat akan ditandai dengan berjalannya secara bersamaan kontrak-kontrak muamalat, seperti qirad, shirkat, qardul hasan, berkembangnya tijarah, dan sebagainya.

from: http://wakalasauqi.blogspot.com/2008/05/wakaf-produktif-sebuah-renungan.html

Jumat, 11 Desember 2009

Kawin Kontrak (Mut'ah)



Dalam perkembangan zaman sekarang ini manusia mulai berontak terhadap keadaan hidup, mulai dari tindakan yang tidak bermoral hingga mengambil jalan yang tidak halal mereka lakukan karena desakan kebutuhan hidup, dalam hal ini khususnya tindakan dengan jalan kawin kontrak (nikah Mut’ah) yang saat ini praktek kawin kontrak tersebut tidak sedikit di jalani oleh masyarakat Indonesia khususnya di daerah kawasan Puncak, meskipun keharamannya masih dalam pro kontra antara yang menyatakan kawin mut’ah sudah dilarang dan yang menyatakan kawin mut’ah masih tetap berlaku. Namun keberadaannya sangat tidak di inginkan sebagian besar masyarakat muslim. Menurut pendapat yang pro adalah jelas bahwa kawin kontak (nikah mut’ah) telah dilarang oleh Rasulullah SAW walaupun benar bahwa Rasulullah terbukti membolehkan nikah mut’ah ini pada masa sebagian perang (pada permulaan islam) dan terbukti pula tanpa syak (ragu), bahwa Rasulullah melarangnya dalam suatu larangan umum dan diharamkan dengan satu keharaman yang abadi (untuk selama-lamanya)[1], selain itu nikah mut’ah juga bertentangan dengan hukum-hukum Al-qur’an tentang perkawinan, talak, iddah dan waris karena dalam kawin kontrak ini tidak ada ketentuan-ketentuan mengenai ke empat hal itu.[2] Dan yang menurut yang kontra di antaranya adalah nikah kontrak itu merupakan lembaga lain untuk menghindarkan seseorang berbuat zina yaitu sebagai jalan keluar dari kondisi yang menekan secara psikologis terhadap kaum pria dan wanita yang kehidupannya telah terjebak dalam situasi modernitas.[3]

Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat diantara para imam dan ulama amshar (Dunia) kecuali hanya kelompok ulama syiah yang menghalalkan nikah mut’ah dengan menggunalkan dalil hadist yang menerangkan dibolehkannya nikah semacam itu. Padahal hadist tersebut disampaikan oleh Rasulullah sebelum adanya larangan nikah mut’ah, berarti hadist yang dipakai oleh syariat adalah hadist yang menghapus bukan hsdis yang dihapus. Melakukan sesuatu yang telah dihapuskan hukum keberlakuannya jelas tidak boleh, mendekati perbuatan yang jelas telah dihapuskan hukumnya sama saja dengan melanggar batas syariat Allah dan agamanya.

Melihat dari masih maraknya praktek kawin kontrak yang ada di Indonesia, maka dengan itu diperlukan adanya sanksi dan diperlukan adanya landasan pijakan hukum untuk memprosesnya.

A. Difinisi Nikah Mut’ah dari Beberapa Pendapat

Definisi tentang kawin kontrak (nikah mut’ah) dalam beberapa pendapat sangat beragam, hal ini disebabkan dari bagaimana cara pandang manusia itu sendiri dan tidak lepas dari karakter serta latar belakang kehidupan manusia yang melihatnya. Definisi ini penting dikemukakan karena sangat penting kaitannya dalam merumuskan batasan hukum yang terkait di dalamnya, ada beberapa definisi yang dapat ditampilkan, guna mendapatkan definisi yang memadai, antara lain:

Dalam kamus Lisan al-‘Arab, ibnu Manzur mengatakan “Mut’ah” adalah bersenang-senang dengan perempuan, tetapi kamu tidak mengawininya kekal bersamamu. Dan Al-Azhari berpendapat, “Al-Mataa’u adalah setiap yang bermanfaat.[4]
Definisi Mut’ah dalam istilah ulama, Mut’ah yaitu akad perkawinan yang dilaksanakan untuk waktu tertentu dengan mahar yang ditetapkan, baik untuk waktu yang panjang maupun waktu yang pendek, akad ini berakhir dengan berakhirnya waktu akad, tanpa jatuh talak.[5]
Menurut istilah fiqh “ Nikah Mut’ah” adalah seorang lelaki menikahi seorang perempuan dengan memberikan sejumlah harta tertentu, pernikahan itu akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkannya, tanpa talak, tanpa kewajiban memberi nafkah maupun tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya jika salah satu dari keduanya mati sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu.[6]
Masdar F. Mas’udi dalam bukunya Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, mendefinisikan nikah Mu’ah sebagai berrikut: secara harfiyah nikah mut’ah adalah nikah enak-enakan, nikah untuk sekedar memenuhi dorongan seksual. Dalam literature fiqh, nikah mut’ah didefinisikan sebagai kawin kontrak, nikah untuk jangka waktu tertentu (nikah mu’aqqat) samapi hajad seksualbterutama dari laki-laki terpenuhi. Begitu masa kontrak habis, habis pula ceritanya; tidak ada pembagian waris, tidak ada pertanggungjawaban keturunan.[7]
Kawin Mut’ah juga dinamakan kawin muaqqat artinya kawin untuk waktu tertentu atau kawin munqathi artinya kawin terputus. Kawin mut’ah yaitu senang-senang karena akadnya hanya semata-mata untuk senang-senang saja antara laki-laki dan perempuan dan untuk memuaskan nafsu, bukan untuk bergaul sebagai suami istri, bukan untuk mendapatkan keturunan. Tidak ada talak dan tidak ada hak waris mewarisi.[8]
Muhammad Malullah dalam bukunya Menyingkapi Kebobrokan Nikah Mut’ah, berpendapat bahwa masalah kawin mut’ah adalah topik yang banyak diperbincangkan, apalagi setelah kendali pemerintah di Iran dikuasai oleh para Ayutullah, dan mereka mengeluarkan dana miliaran untuk mencetak kitab-kitab mahzab Ar-Rafidhah, mahzab ini diantara ajarannya mengajak dengan terang-terangan melakukan perzinaan dan perbuatan yang keji dengan temeng nikah mut’ah.[9]
Kata-kata Mut’ah pada dasarnya memberi kesenangan dan meningkat tinggi, Mut’ah adalah uang, barang dan sebagainya yang diberikan suami kepada istri yang di ceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati), mut’ah yang mutlak di jadikan dasar hidup bagi pria untuk mencapai keinginannya, hawa nafsunya dari wanita tanpa syarat, ini dilakukan dengan perkawinan sementara atau biasa dinamakan “kawin kontrak”, dalam islam hal ini tidak di sebut “perkawinan” sebab tidak memenuhi syarat kesucian niat, tidak disasari atas pendirian keluarga sakinah, kontrak seperti ini ibarat mengontrak orang untuk bekerja.[10]
Menurut Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Abdus Salam Nawawi. Kawin kontrak dikenal dengan istilah nikah mut’ah, menurut beliau nikah mut’ah terjadi pada masa Rasulullah.”waktu itu kondisinya darurat, sedang dalam peperangan. Saat itu Rasulullah mengijinkan tentara yang terpisah jauh dengan istrinya untuk melakukan nikah mut’ah, dari pada melakukan penyimpangan, namun Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan pembebasan kota mekkah pada tahun 8 H/630 M. sifat mut’ah ini lebih menitik beratkan pada kesenangan yang dibatasi oleh waktu tertentu, sebagian besar ulama Islam mengharamkannya, menimbang dari segi tujuan pembentukan rumah tangga, belia menyatakan tidak menyetujui praktik ini.
. Menurut hakim agung Rifyal Ka’bah berpendapat bahwa kawin mut’ah lebih mengarah pada kesenangan belaka. “ itu Cuma kawin main-main dengan tujuanuntuk bersenang-senang. Kalau kita pakai common sense, akal sehat, praktik ini akan tidak dapat diterima karena kawin kontrak bertentangan dengan prinsip pernikahan yaitu kontrak suci karena berjanji di depan wali, saksi, dan juga di depan Allah, bahwa ia akan memperlakukan pasangannya dengan baik.[11]

Difinisi Nikah Mut’ah

Dari beberapa pendapat diatas maka dapat diambil kesimpulan definisi sebagai berikut, nikah mut’ah bukanlah suatu pernikahan yang diridhai Allah karena praktik semacam ini menyimpang dari Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam dan ayat-ayat Al-qur’an mengenai talak, iddah, dan waris sebab mut’ah sendiri berarti bersenang-senang yaitu suatu akad yang nilainya sangat rendah hanya sebatas perjanjian biasa yang dilaksanakan dalam batas waktu tertentu, setelah berakhirnya kesepakatan antar kedua belah pihak maka berakhirlah perjanjian itu, tanpa talak, tanpa waris-mewarisi dan tanpa pertanggungjawaban keturunan.

Sebab Akibat yang Ditimbulkan

Timbulnya praktik kawin kontrak yang saat ini terjadi di Indonesia khususnya di kawasan puncak belajangan ini berawal dari marjinalisasi masyarakat petani Indonesia. Ketika lahan menyusut, yang terjadi adalah tidak adanya lahan yang digunakan untuk bertani padahal bertani adalah kemampuan utama mereka untuk menghidupi kesulitan hidup. Jumlah penduduk bertambah, akibatnya daya tampung pekerja industri tidak memadai. Industrialisasi yang gagal semasa orde baru hanya mewariskan harga mati, sehingga banyak korban PHK dan menjadi pengngguran karena sulitnya mendapatkan pekerjaan, akibatnya pemahaman cepat kaya dan hidup enak bagi generasi muda saat ini telah menjadi impian yang mudah diraih. Alhasil kawin kontrak pun menjadi solusi bagi mereka. [12]

Fenomena ini juga tampak dalam bentuk nikah sirri, nikah ini merupakan sebuah praktek pernikahan yang dianggap sah secara agama ketika dihadiri oleh mempelai, wali, 2 orang saksi, disertai ijab dan qabul. Persoalan muncul ketika pernikahan tersebut tidak dicatatkan. Karena bukti tertulis yang menguatkan adanya ikatan pernikahan itu tidak ada. Sehingga ketika terjadi sesuatu seringkali perempuan menjadi korban. Padahal UU Perkawinan No.1 th.1974 telah mengatur bahwa setiap pernikahan harus dicatatkan.

Dalam sebuah seminar mengenai pemasaran daerah tujuan wisata tanggal 28 juni 2002 Wapres Jusuf Kalla sempat menyampaikan ucapan kontraversial yang memancing kemarahan masyarakat, pak JK menyatakan bahwa tidak ada persoalan dengan banyakknya kawin kontrak yang dilakukan oleh turis-turis Arab di kawasan puncak, sebab meskipun perempuan ini akhirnya diceraikan, para janda ini dapat memperbaiki keturunannya menjadi lebih cantik dan tampan bak atris dan actor senetron.[13]

Sungguh sangat menyayat hati jika fimikiran seperti itu menjadi anggapan yang baik bagi setiap orang, yang jadi permasalahan bagaimana jika tanpa jaminana masa depan, tentu anak-anak hasil kawin kontrak itu akan sangat sulit menjadi aktris atau aktor andal, alih-alih menjadi aktor mereka justru dapat kembali terjerat dalam lingkaran syetan yang membelenggu ibu mereka, yakni kemiskinan dan praktik kawin kontrak. Pihak perempuandalam praktik kawin kontrak tidak lebih dari sekedar komoditas seks, kawin semacam ini hanya dijadikan alasan dengan menggunakan kedok agama untuk melaksanakan protitusi terselubung.[14]

Perkawinan pada umumnya harus mempunyai tanggungjawab diluar dari semata melampiaskan hawa nafsu, maka perhatikannlah perkawinan islam secara tuntas dan antusias, sebab perkawinan itulah yang akan menentukan pribadi bangsa, apabila rumah tangga tidak terdiri atas dasar yang benar, susunan atas cinta palsu dan pelepasan tanggungjawab hal ini sama dengan pemerkosaan disertai pembunuhan yang sadis.[15]

Praktik-praktik pekawinan semacam ini sering kali sekedar menjadi “modus operandi” yang banyak berorientasi pada pemuasan syahwat laki-laki, tentu saja hal ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang lemah baik secara sosial dan hukum, serta menjadikannya sebagai kelompok yang tak terlindungi, ibarat pepatah habis manis sepah dibuang.[16]

Alhasil jika melahirkan anak hasil praktik kawin kontrak, si anak tidak akan tahu siapa ayahnya. Apalagi jika si bayi dibuang karena sang ibu tidak sanggup merawatnya, nasip anak akan semakin memprihatinkan. Dari sisi Undang-undang perkawinan dan Undang-undang kewarganegaraan praktik ini merupakan pelanggaran hukum. Karena sesuai dengan peraturan perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga yang kekal.[17]

LEMAHNYA HUKUM POSITIF

Ketiadaan aturan hukum yang mengatur kawin kontrak dengan segala akibatnya menyebabkan beberapa pihak mendesak agar dilaksanakan pembaharuan dalam hukum perkawinan, karena ketiadaan pasal yang mengatur soal kawin kontrak mengakibatkan aparat penegak hukum menggunakan jerat hukum lain, contohnya : warga negara asing yang biasanya merupakan pelaku praktik kawin kontrak dijerat dengan peraturan soal keimigrasian, bagaimana dengan warga lokal yang melakukan praktik ini karena praktik tersebut tidak selalu dilakukan oleh warga negara asing.

DASAR HUKUM ISLAM

I. Dalil-dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama tentang keharaman nikah mut’ah antara lain:
a. Firman Allah SWT:
”Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri atau jariah[18] mereka miliki, maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela” (QS.Al-Mu’minun[23]: 5-6)
Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai istri atau jariah. Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri atau sebagai jariah. Ia bukan jariah, karena akad mut’ah bukan akad nikah, dengan alasan sebagai berikut:
• Tidak saling mewarisi. Sedangkan akad nikah itu menjadi sebab memperolehnya harta warisan.
• Iddah mut’ah tidak seperti iddah nikah hanif.
Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan kebolehan beristri empat, sedangkan tidak demikian dengan mut’ah.
Dengan melakukan mut’ah, seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, karena wanita diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri, sebab mut’ah itu tidak menjadikan wanita bersetatus menjadi istri dan tidak pula bersetatus jariah. Oleh karena itu, orang yang melakukan mut’ah termasuk didalam firman Allah SWT:
“Barang siapa mencari selain dari pada itu (zina dan sebagainya), maka mereka itulah orang yang melampaui batas”(QS.Al-Mu’minun[23]:7).

Nikah mut’ah bertentangan dengan persyari’atan akad nikah, yaitu untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan (lattanasul).
Nikah mut’ah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pemerintah negara Republik ndonesia (antara lain UU. No.1/ 1974 dan KHI). Padahal, peraturan perundang-undangan itu wajib ditaati kepada pemerintah (ulil amri), berdasarkan antara lain, firman Allah:
“Hai orang beriman! Taatilah Allah dan Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu…” (QS. An-Nisa’[4]: 59)

kaidah fiqhiyah: “Keputusan pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan dan menghilangkan perbedaan pendapat”.[19]

b. Sulit kita memastikan bahwa anak yang lahir dari hasil praktik kawin kontrak hanya memiliki satu ayah, karena ibunya dapat mengikat pernikahan dengan siapapun setiap saat. Atas dasar itu semua dank arena hadis dari Rasulullah mengenai pengharaman sistem perenikahan mut’ah, maka jumhur ulama menrtapkan bahwa nikah mut’ah haram hukumnya.[20]

c. Al Qurthubi meriwayatkan diharamkannya nikah mut’ah dari Said Ibnu Musayyab, Aisyah dan Al Qasim Ibnu Muhammad. Sedangkan Daruquthi meriwayatkan dari Ali Ibnu Abi Thalib r.a. Ali berkata, “Rasulullah SAW telah melarang nikah mut’ah. Dan nikah mut’ah itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang belum mendengar tentang berita keharamannya. Tetapi, setelah turun ayat nikah, talak, iddah, dan hak hukum waris di antara suami-istri, maka izin nikah mutah di hapus.[21]

d. Mereka yang mengharuskan hukuman diterapkannya berdasarkan riwayat Al Quthubi yaitu, bahwa Amirul Mukminin Umar r.a menyatakan, “Tiada seorang pun pelaku nikah mut’ah dihadapkan padaku, melainkan akan aku rajam dengan batu”.[22]



--------------------------------------------------------------------------------

[1]Ibnu Mustafa, Perkawinan Mut’ah dalam Perspektif Hadis dan Tinjauan Masa Kini, (Jakarta: Lentera Basrimata,1999), cet.1, h.11

[2]Sa’id Thalib Al-Hamdani, Risalatun Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), cet.3, h.36

[3] Ibid, h.57

[4] Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Dar al-Ma’arif, Kairo, jilid V, h. 4127

[5] Muhammad Fu’ad Syakir, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Cendikia Centra Muslim, 2002), cet.1, h.65

[6] A. Muhammad Al Hamid, Pandangan Ahlu Sunnah Tentang Nikah Mut’ah,(Surabaya: Yayasan Pereguruan Islam,1995), cet.2, h.1

[7] Ibid, h.14-15

[8] Ibid, h.36

[9] Muhammad maululah, Menyingkap Kebobrokan Nikah Mut’ah, (Jakarta: pustaka Firdaus,1997), cet. 4, h.1

[10] Fuad Moch. Fachruddin, Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, (Jakatra: Pedoman Ilmu Jaya,1992), cet. 1, h. 70-72.

[11] Berita, Kawin Kontrak Antara Hukum dan Realita, www. Hukumonline.com, 2006

[12] Metropolitan, Marjinalisasi kaum Perempuan Kawin Kontrak di Kawasan Puncak, www. Kompas.com,2006.

[13] Swara Rahima, Ketika Kalla Menyampaikan Fatwa, www. rahima.or.id, 2006

[14] ibid, hukumoneline.com

[15] ibid, h.75.

[16] ibid, rahima.or.id

[17] ibid, compass.com

[18] jariah : hamba sahaya yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak yang didapat diluar peperangan agama, yang sekarang sudah tidah ada lagi.
[19] Halal Quide, Keputusan Fatwa MUI Tentang Nikah Mut’ah, www. halalquide.info, 2006.

[20] Ibid, h.19-20.

[21] Ibid, h.26.

[22] Ibid, h..72