Sabtu, 27 Juni 2009

SARJANA SYARI’AH MENJADI ADVOKAT

Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, tertib, dan berkeadilan. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar memerlukan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia.
Penegakan hukum di Indonesia pelaksanaannya ada di tangan hakim, jaksa, polisi, advokat, dan petugas lapas. Hukum yang diberlakukan di Indonesia di samping hukum yang diadopsi dari Eropa dan hukum adat yang sedikit banyak menjadi lapangan sarjana hukum umum, juga diberlakukan hukum Islam yang menjadi lapangan studi sarjana syariah. Oleh karena itu, sarjana yang menguasai hukum Islam sekaligus hukum acaranya sudah seharusnya berperan dalam penegakan hukum di Indonesia, selain sebagai hakim, jaksa, polisi, dan petugas lapas harus ada yang berposisi sebagai advokat.
Sarjana syari’ah dan kesetaraannya dengan sarjana hukum dalam profesi advokat, di samping merupakan hasil puncak perjuangan para pejuang UU Advokat yang dengan berdarah-darah berusaha memasukkan sarjana syariah sekaligus organisasi advokat syariah ke dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, di sisi lain justru awal dari perjuangan kita civitas akademika perguruan tinggi Islam utamanya fakultas syariah. Perjuangan awal dimaksud bukan hanya di bidang profesi advokat, tapi juga merupakan perjuangan awal bagi kesetaraan untuk menjadi penegak hukum mengingat dalam peraturan perundang-undangan yang lain selain UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat masih ada perlakuan diskriminatif terhadap sarjana syari’ah. Sebagai contoh seorang sarjana hukum yang menguasai hukum Islam bisa menjadi hakim di lingkungan Peradilan Agama (Pasal 13 (g) UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama), sebaliknya seorang sarjana syari’ah yang menguasai hukum umum tidak bisa menjadi hakim di lingkungan Peradilan Umum. (Pasal 14 (f) UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum).
Kini, undang-undang Advokat sudah memberi kesempatan kepada sarjana syari’ah tanpa diskriminasi untuk menjadi advokat. Pertanyaan kita adalah mau dan mampukah sarjana syari’ah menjawab semua tantangan ini dan sekaligus memiliki competitive advantage (daya saing yang handal) terhadap sarjana lain yang berpendidikan tinggi hukum ? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu identifikasi beberapa peluang dan sekaligus tantangan yang dihadapi oleh sarjana syari’ah untuk memasuki wilayah profesi advokat. Dan ini menjadi tugas yang sangat tidak ringan.
Kesempatan menjadi pegawai negeri sipil selama sistem rekruitmen berjalan sebagaimana sistem yang selama ini santer didengar masyarakat umum, seorang sarjana yang bagus intelektualitasnya tanpa bekal lobi dan koneksi kuat relatif sulit mengabdikan ilmunya kepada negeri melalui jalur pegawai negeri sipil. Oleh karena itu, sekalipun sangat baik seorang sarjana menjadi pegawai negeri sipil, kenapa tidak seorang sarjana berteriak "sarjana tidak harus menjadi pegawai negeri sipil !!!"
Alumnus fakultas syariah memiliki kemampuan lebih dari pada alumnus fakultas hukum dalam penguasaan ilmu hukum dan ilmu agama. Kini, alumnus fakultas syariah setara posisi dan kesempatannya dengan alumnus fakultas hukum untuk meniti karir dalam profesi yang berkaitan dengan ilmu hukumnya selain sebagai hakim, polisi, dan jaksa yang harus didapat melalui jalur pegawai negara yaitu sebagai advokat.
Menjadi advokat, kata mereka yang telah menjadi advokat, lebih mudah diraih daripada bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil. Menjadi advokat, asal mau dan berani pasti jadi. Pasti, kata mereka. Jalan yang harus ditempuh untuk menuju menjadi advokat disebutkan oleh Pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat :
(1) Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
Dalam penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) disebutkan :
Yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian.
Dua lulusan pendidikan tinggi hukum terakhir telah dihapus oleh mahkamah konstitusi dari undang-undang ini sehingga sarjana syariah setara dan hanya bersaing dengan sarjana hukum.
Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menyebutkan :
"Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertempat tinggal di Indonesia;
c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Syarat ini relatif lebih mudah diraih dibandingkan dengan jika bercita-cita mengenakan seragam dinas korps pegawai negeri sipil pada departemen apapun di muka bumi Indonesia jika perekrutan PNS masih mengunakan tata cara seperti saat ini. Belum lagi berita tentang beberapa depatemen yang over load pegawai sehingga banyak pegawai yang menganggur, atau minimal, jam kerja yang ada tidak terfungsikan maksimal disebabkan pekerjaan sedikit dengan banyak pekerja.
Alumnus fakultas syariah hanya harus mengikuti ujian nasional advokat yang dilaksanakan oleh KAI atau Peradi dan jika lulus harus mengikuti PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) sebelum resmi diambil sumpah oleh pengadilan tinggi sebagai seorang advokat. Selesai. Dan jadilah dia seorang advokat. Urusan mendapat klien atau tidak adalah urusan setelahnya.
Ujian nasional calon advokat oleh KAI atau Peradi kemungkinan besar dilaksanakan lebih dari satu kali dalam satu tahun oleh masing-masing organisasi menjadikan kesempatan lebih terbuka lebar.
Berdasar tukar informasi dan pengalaman dari arena workshop di Ponorogo yang telah lalu, mengikuti ujian nasional calon advokat yang dilaksanakan oleh KAI relatif lebih mudah mencapai passing grade yang ditetapkan dari pada mengikuti ujian nasional calon advokat yang dilaksanakan oleh PERADI. KAI mematok nilai 59 untuk lulus sedangkan PERADI memasang angka 70 untuk lulus. Di samping itu, latar belakang perpecahan organisasi induk advokat Indonesia menjadi dua itu barangkali turut menyumbangkan perannya atas jalan sarjana syariah menuju profesi advokat. Karena mungkin saja layak disegarkan dalam ingatan bahwa masih banyak pihak yang tidak legawa ketika ada kaum muslim tampil.
Dalam sejarahnya pengesahan UU Nomor 18 Tahun 2003 ini sangat tendensius dalam banyak sisi. Di antaranya adalah advokat tidak mengenal usia pensiun. Oleh karena itu sangat dimungkinkan para mantan hakim dan jaksa atau siapapun akan membidik profesi advokat pada masa pensiunnya. Artinya, tidak ada kata terlambat bagi sarjana syariah.
Berkaca kepada advokat senior yang telah lebih dahulu berkiprah, ternyata dapat dilihat ahwa mereka menguasai seluruh materi keadvokatannya dari belajar di bangku kuliah. Berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman yang menjadikan advokat semakin matang. Sebagai contoh pengacara kondang seperti Adnan Buyung Nasution, OC Kaligis, Juan Felix Tampubolon pasti belum pernah mendapatkan pelajaran cara menangani kasus korupsi di Indonesia sebelum disahkannya UU tentang tindak pidana korupsi. Begitu seterusnya.
Terakhir, hakim pengadilan agama sedikit banyak mengeluh ketika ruang sidang pengadilan agama terisi oleh advokat yang minim latar belakang ilmu syariahnya. Penguasaan hukum acara dan hukum materi tidak cukup untuk digunakan beracara di pengadilan agama. Oleh karena itu, ketika menjadi advokat sarjana syariah harus diusahakan tidak dibalas menjadi bahan keluhan hakim pengadilan umum, hakim pengadilan tata usaha negara, dan hakim pengadilan militer karena minimnya penguasaan terhadap hukum acara persidangan.

Tujuan Hukum Islam

Jika selama ini tujuan hukum Islam yang dikenal, berdasarkan pendapat para ulama, hanya 5 (yaitu hifzh al-din, hifzh al-nafs, hifzh al-‘aql, hifzh al-mal, dan hifzh al-nasl), Prof.Dr.K.H.A. Djazuli, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, menambahkan satu lagi dengan “hifzh al-ummah” (menjaga dan memelihara ummah), yang merupakan pengikat dari tujuan yang 5 di atas.

Guru besar yang sangat tawadhu namun sarat ilmu ini memaparkan pemikiran briliannya dalam sebuah makalah berjudul “HIFZH AL-UMMAH : TUJUAN HUKUM ISLAM”, yang disajikan pada Sidang Senat Terbuka UIN Gunung Djati Bandung, yang khusus diselenggarakan untuk menganugerahan Gelar Doktor HC kepadanya, Rabu kemarin siang, 29 April 2009, di kampus Cipadung Bandung.


Pemikiran tersebut bukan hal yang tiba-tiba, apalagi khusus untuk mendapatkan gelar Dr (HC). Pemikiran ini nampaknya sudah lama menjadi perhatian dan kajian Prof. Djazuli. Pada tahun 2002 pemikiran ini pernah disampaikannya kepada Prof. Ali Yafie, yang mendapat respon positif. “Silahkan Bapak mengembangkannya”, kata Prof. Ali Yafie kepada Prof. Djazuli, sebagaimana ditulis pada catatan kaki makalahnya. Pemikiran ini juga pernah diungkapkannya kepada Prof. Umar Chapra yang banyak menulis tentang ekonomi, yang juga mendapat sambutan positif.

Mengapa Hifzh al-ummah menjadi tujuan hukum Islam

Prof. Djazuli memberikan banyak alasan mengapa “hifzh al-ummah” merupakan salah satu tujuan dari hukum Islam, bahkan merupakan perekat tujuan-tujuan lainnya yang sudah dikenal selama ini.

Di antara alasan yang dikemukakan Prof Djazuli adalah bahwa tujuan syari’ah yang 5 menekankan kepada manusia sebagai individu, kurang diimbangi dengan manusia sebagai anggota komunitas. “Barangkali ini salah satu sebab orang Islam kurang perhatian dan kesadarannya terhadap pentingnya umat di dalam kehidupan ini”, tulisnya. Umat Islam lebih mementingkan fardh ‘ain dari pada fardh kifayah atau fardh ijtima’iyah atau fardh ‘ammah. Padahal, Imam Al-Subki, dalam Jam’ al-Jawami, menyebutkan bahwa “fardh al-kifayah afdlal mim fardh al-‘ain”

Di bagian lain, Guru Besar yang pernah menjadi Panitera PA Cianjur (1959-1969) ini mengemukakan bahwa kata umat memiliki ruang lingkup yang berlapis. Dengan mengemukakan dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits, Prof yang sejuk ini mengemukakan kata “umat” dapat meliputi (1) semua makhluk Tuhan (termasuk binatang, tumbuhan dan lainnya), (2) umat manusia secara keseluruhan, dan (3) suatu komunitas manusia, seperti umat Islam atau umat non-muslim.

Oleh karena itu, “tanpa hifzh al-ummah kita sulit memahami kasus-kasus pengrusakan alam, lingkungan, peperangan dan pemberontakan”, tulisnya. Dengan demikian, hifzh al-ummah menjadi landasan filosofis bagi fiqh siyasah, baik siyasah dusturiyah, dauliyah maupun maliyah.

Profesor yang sangat berperan dalam penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah yang sudah dipayungi oleh PERMA no 2/2008 ini lebih jauh menyebutkan bahwa “Fiqh Sosial” yang diperkenalkan oleh Prof. Dr. KH Ali Yafie dan “Kesalehan Sosial” yang dikembangkan oleh Dr. KH Sahal Mahfud, pada intinya adalah untuk merealisasikan kemaslahatan umum. Oleh karena itu sangat beralasan jika “hifzh al-ummah” dijadikan salah satu dari “maqashid al-syari’ah”.

Dengan kesadaran akan “hifzh al-ummah” sebagai salah satu tujuan Hukum Islam, pecahnya umat sebagai ekses dari adanya perbedaan pendapat yang tajam – antara lain di bidang hukum-, dapat dinetralisir (dihindari, red), setidaknya dikurangi.

Melihat munculnya kelompok-kelompok umat Islam dengan corak masing-masing dalam pengaturan masalah-masalah kemasyarakatan di negeri ini, Prof Djazuli menyatakan “Supaya tidak jatuh kepada sikap-sikap eksklusif, kita perlu mempertegas tujuan, yaitu ‘hifzh al-ummah’”.

Tokoh keilmuan dan tokoh kemasyarakatan

Rektor UIN Sunan Gunung Djati, Prof. Dr. H. Nanat Fatah Natsir, MS, dalam sambutan penganugerahan gelar Doktor ini menyatakan bahwa Prof Djazuli ini pantas disebut sebagai al-Syathibi di era modern. Sebutan itu nampak tidak berlebihan, mengingat kepakaran, pengabdian dan perilaku Prof Djazuli di bidang Hukum Islam sangat menonjol dan sudah terbukti membawa manfaat kepada banyak pihak. Abu Ishaq al-Syathibi ahli hukum Islam yang wafat pada tahun 709 H/1388M dikenal sebagai ulama yang mengkaji dan mengembangkan soal “maqashid al-syari’ah”, seperti juga diikuti oleh Prof Djazuli.

Keteladanan, perilaku, pengabdian dan kepakaran yang luar biasa di bidang hukum Islam dari Prof Djazuli mejadikan Tim Promotor, yang terdiri dari Prof. Dr. H, Juhaya S. Praja (Guru Besar UIN Bandung), Prof. Dr. H. E. Saefullah Wiradipradja, SH, LLM (Guru Besar UNPAD Bandung) dan Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, Lc, MA, dengan persetujuan Senat Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, sepakat untuk memberikan anugerah Gelar Dr. HC.
Selain anggota senat, hadir pula pada acara penganugerahan ini, Hakim Agung Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH, yang juga sebagai Guru Besar UIN Bandung, Dirjen Badilag, Ketua PTA, serta tokoh-tokoh Jawa Barat.

Prof. Dr. K. H. A. Djazuli yang lahir di Cianjur 25 Maret 1938 merupakan sosok yang menarik. Perilaku dan keteladanan beliau yang luar biasa di bidang kebudayaan dan kemasyarakatan menjadikan beliau diterima baik oleh berbagai kalangan dan berbagai kelompok kemasyarakatan. Di samping sebagai dosen di beberapa Perguruan Tinggi, aktif di MUI, IPHI, ICMI, Bank, juga aktif dan pernah aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan yang beragam. Misalnya, sebagai Penasihat PUI Jabar (2000-sekarang), Ketua Mustasyar Mathla’ul Anwar (2000 – sekarang), Penasihat Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Jabar (2005 – sekarang), Penasihat Ikatan Sarjana NU (2001 – 2006), dan lain-lainnya.

Rabu, 17 Juni 2009

Hidup AS

Al-hamdulillah...
puja nu janteun panghias rasa, hayu urang sanggakeun ka Allah azza wajalla nyatana Allah anu maha kawasa, Puji nu janteun oanghias ati, hayu urang sanggakeun ka Allah rabbul izzati nyatana Allah anu maha suci.
Shalawat miwah salam hayu urang kocorkeun, kucurkeun, jeung kecerkeun ka jungjunan urang sadaya nyatana kanjeng nabi Muhammad Saw.
Bismillah nu janteun wiwitan, alhamdulillah tawis syukuran, ayeuna urang sadaya parantos tiasa nganikmati fasilitas alam maya anu Insya Allah kapayunna tiasa diangge hal anu mangrupa-rupa manfaat. mulai ti kaperyogian ngadameul tugas kuliah supados langkung seueur referensina dugi ka tolab elmu anu Insya Allah manfaatna!!
kukituna, mangga anu peryogi kana fasilitas ieu, supados diangge sinareung diamalkeun kanggo amaliyah yaumiyah kusabab langkung sae upami amal ilmiah sinareung ilmu amaliyah di buktoskeun ku warga AS sadaya..
hatur nuhun kasadayana anu parantos ngunjungi ieu blog, mugia Allah masihan elmu sinareung hidayah ka urang sadaya..