Sabtu, 27 Juni 2009

Tujuan Hukum Islam

Jika selama ini tujuan hukum Islam yang dikenal, berdasarkan pendapat para ulama, hanya 5 (yaitu hifzh al-din, hifzh al-nafs, hifzh al-‘aql, hifzh al-mal, dan hifzh al-nasl), Prof.Dr.K.H.A. Djazuli, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, menambahkan satu lagi dengan “hifzh al-ummah” (menjaga dan memelihara ummah), yang merupakan pengikat dari tujuan yang 5 di atas.

Guru besar yang sangat tawadhu namun sarat ilmu ini memaparkan pemikiran briliannya dalam sebuah makalah berjudul “HIFZH AL-UMMAH : TUJUAN HUKUM ISLAM”, yang disajikan pada Sidang Senat Terbuka UIN Gunung Djati Bandung, yang khusus diselenggarakan untuk menganugerahan Gelar Doktor HC kepadanya, Rabu kemarin siang, 29 April 2009, di kampus Cipadung Bandung.


Pemikiran tersebut bukan hal yang tiba-tiba, apalagi khusus untuk mendapatkan gelar Dr (HC). Pemikiran ini nampaknya sudah lama menjadi perhatian dan kajian Prof. Djazuli. Pada tahun 2002 pemikiran ini pernah disampaikannya kepada Prof. Ali Yafie, yang mendapat respon positif. “Silahkan Bapak mengembangkannya”, kata Prof. Ali Yafie kepada Prof. Djazuli, sebagaimana ditulis pada catatan kaki makalahnya. Pemikiran ini juga pernah diungkapkannya kepada Prof. Umar Chapra yang banyak menulis tentang ekonomi, yang juga mendapat sambutan positif.

Mengapa Hifzh al-ummah menjadi tujuan hukum Islam

Prof. Djazuli memberikan banyak alasan mengapa “hifzh al-ummah” merupakan salah satu tujuan dari hukum Islam, bahkan merupakan perekat tujuan-tujuan lainnya yang sudah dikenal selama ini.

Di antara alasan yang dikemukakan Prof Djazuli adalah bahwa tujuan syari’ah yang 5 menekankan kepada manusia sebagai individu, kurang diimbangi dengan manusia sebagai anggota komunitas. “Barangkali ini salah satu sebab orang Islam kurang perhatian dan kesadarannya terhadap pentingnya umat di dalam kehidupan ini”, tulisnya. Umat Islam lebih mementingkan fardh ‘ain dari pada fardh kifayah atau fardh ijtima’iyah atau fardh ‘ammah. Padahal, Imam Al-Subki, dalam Jam’ al-Jawami, menyebutkan bahwa “fardh al-kifayah afdlal mim fardh al-‘ain”

Di bagian lain, Guru Besar yang pernah menjadi Panitera PA Cianjur (1959-1969) ini mengemukakan bahwa kata umat memiliki ruang lingkup yang berlapis. Dengan mengemukakan dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits, Prof yang sejuk ini mengemukakan kata “umat” dapat meliputi (1) semua makhluk Tuhan (termasuk binatang, tumbuhan dan lainnya), (2) umat manusia secara keseluruhan, dan (3) suatu komunitas manusia, seperti umat Islam atau umat non-muslim.

Oleh karena itu, “tanpa hifzh al-ummah kita sulit memahami kasus-kasus pengrusakan alam, lingkungan, peperangan dan pemberontakan”, tulisnya. Dengan demikian, hifzh al-ummah menjadi landasan filosofis bagi fiqh siyasah, baik siyasah dusturiyah, dauliyah maupun maliyah.

Profesor yang sangat berperan dalam penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah yang sudah dipayungi oleh PERMA no 2/2008 ini lebih jauh menyebutkan bahwa “Fiqh Sosial” yang diperkenalkan oleh Prof. Dr. KH Ali Yafie dan “Kesalehan Sosial” yang dikembangkan oleh Dr. KH Sahal Mahfud, pada intinya adalah untuk merealisasikan kemaslahatan umum. Oleh karena itu sangat beralasan jika “hifzh al-ummah” dijadikan salah satu dari “maqashid al-syari’ah”.

Dengan kesadaran akan “hifzh al-ummah” sebagai salah satu tujuan Hukum Islam, pecahnya umat sebagai ekses dari adanya perbedaan pendapat yang tajam – antara lain di bidang hukum-, dapat dinetralisir (dihindari, red), setidaknya dikurangi.

Melihat munculnya kelompok-kelompok umat Islam dengan corak masing-masing dalam pengaturan masalah-masalah kemasyarakatan di negeri ini, Prof Djazuli menyatakan “Supaya tidak jatuh kepada sikap-sikap eksklusif, kita perlu mempertegas tujuan, yaitu ‘hifzh al-ummah’”.

Tokoh keilmuan dan tokoh kemasyarakatan

Rektor UIN Sunan Gunung Djati, Prof. Dr. H. Nanat Fatah Natsir, MS, dalam sambutan penganugerahan gelar Doktor ini menyatakan bahwa Prof Djazuli ini pantas disebut sebagai al-Syathibi di era modern. Sebutan itu nampak tidak berlebihan, mengingat kepakaran, pengabdian dan perilaku Prof Djazuli di bidang Hukum Islam sangat menonjol dan sudah terbukti membawa manfaat kepada banyak pihak. Abu Ishaq al-Syathibi ahli hukum Islam yang wafat pada tahun 709 H/1388M dikenal sebagai ulama yang mengkaji dan mengembangkan soal “maqashid al-syari’ah”, seperti juga diikuti oleh Prof Djazuli.

Keteladanan, perilaku, pengabdian dan kepakaran yang luar biasa di bidang hukum Islam dari Prof Djazuli mejadikan Tim Promotor, yang terdiri dari Prof. Dr. H, Juhaya S. Praja (Guru Besar UIN Bandung), Prof. Dr. H. E. Saefullah Wiradipradja, SH, LLM (Guru Besar UNPAD Bandung) dan Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, Lc, MA, dengan persetujuan Senat Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, sepakat untuk memberikan anugerah Gelar Dr. HC.
Selain anggota senat, hadir pula pada acara penganugerahan ini, Hakim Agung Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH, yang juga sebagai Guru Besar UIN Bandung, Dirjen Badilag, Ketua PTA, serta tokoh-tokoh Jawa Barat.

Prof. Dr. K. H. A. Djazuli yang lahir di Cianjur 25 Maret 1938 merupakan sosok yang menarik. Perilaku dan keteladanan beliau yang luar biasa di bidang kebudayaan dan kemasyarakatan menjadikan beliau diterima baik oleh berbagai kalangan dan berbagai kelompok kemasyarakatan. Di samping sebagai dosen di beberapa Perguruan Tinggi, aktif di MUI, IPHI, ICMI, Bank, juga aktif dan pernah aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan yang beragam. Misalnya, sebagai Penasihat PUI Jabar (2000-sekarang), Ketua Mustasyar Mathla’ul Anwar (2000 – sekarang), Penasihat Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Jabar (2005 – sekarang), Penasihat Ikatan Sarjana NU (2001 – 2006), dan lain-lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar