Jumat, 03 Juli 2009

Hakim Pengadilan Agama dan Ekonomi Syari’ah

Stigma bahwa para hakim Peradilan Agama hanya bisa memutus kasus-kasus perceraian saja dan kurang kompeten dalam menangani sengketa ekonomi syariah, ditepis oleh Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama (Tuada Uldilag) Mahkamah Agung RI, Drs. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. Dalam sebuah lokakarya tentang Ekonomi Syariah di Tarakan, Kamis (21/5) beliau mengatakan bahwa Peradilan Agama sekarang sudah berubah. Dalam merespon yurisdiksi baru tentang ekonomi syariah, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Dirjen Badilag) Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mempersiapkan banyak hal, seperti membuka kesempatan bagi hakim-hakim peradilan agama untuk melanjutkan studi untuk konsentrasi hukum bisnis syariah, penyempurnaan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), dan penataran kepada hakim-hakim peradilan agama menyangkut hal tekhnis penyelesaian perkara ekonomi dan perbankan syariah.

Ketika UU No 3/2006, yang memberi kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah, diundangkan 3 tahun lalu, banyak para pakar dan pelaku ekonomi tingkat nasional yang heran dan mempertanyakan. Mengapa harus ditangani oleh PA? Apa PA mampu menangani sengketa ekonomi syari’ah itu? Drs. H. Andi Syamsu Alam, SH, MH, Ketua Muda MA-RI, Urusan Lingkungan Peradilan Agama mengemukakan hal itu pada saat memberi sambutan sekaligus membuka Lokakarya tentang Ekonomi Syari’ah (21/5) di Tarakan, Kalimantan Timur.

Lebih jauh Andi menjelaskan tentang berbagai pandangan para pakar dan pelaku ekonomi terhadap PA. Mereka masih ada yang menganggap PA sebagai tempatnya para penghulu (KUA, red), hakim-hakimnya hanya bisa memutus kasus-kasus perceraian saja dan hanya berfungsi sebagai pembaca do’a. Mana mungkin PA bisa menangani sengketa ekonomi syari’ah yang meliputi sengketa-sengketa perbankan, keuangan dan jenis-jenis bisnis lainnya.

Semuanya itu dijawab oleh Andi: “Kini, PA sudah berubah”. “PA mampu dan kini mulai mendapat kepercayaan dari para pihak yang berperkara ekonomi syari’ah”, tegasnya. Andi memberi bukti bahwa dari sekian perkara sengketa ekonomi syari’ah yang diterima dan diputus PA saat ini, hanya 1 (satu) perkara yang diajukan kasasi. “Ini membuktikan bahwa para pihak puas dengan keputusan PA”, tambahnya.

Polemik Kompetensi

Memang, dahulu kompetensi penanganan sengketa ekonomi syariah sempat menjadi perdebatan politis di DPR. Dalam pembahasan RUU Perbankan Syariah yang sekarang disahkan menjadi Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, ada rencana tambahan satu pasal pada bab IX, yakni pasal 52 yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dan bidang ekonomi syariah lainnya seperti sekuritas syariah, asuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah, bisnis syariah, pembiayaan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, dan lain-lain ditangani oleh peradilan umum. Upaya pengambil-alihan wewenang mengadili tersebut secara konstitusional ambivalen dengan UU No.3 tahun 2006. Apalagi, pasal-pasal yang berkaitan dengan sengketa telah diatur secara organik dalam undang-undang peradilan terkait. Pasal 49 UU No.3 tahun 2006 secara tegas menyebut bahwa Peradilan Agama memiliki kewenangan absolut mengadili perkara antara orang-orang Islam di bidang ekonomi syariah

Ketua MA, Harifin A. Tumpa, berharap hakim peradilan agama lebih memahami masalah ekonomi syari’ah. Hal ini karena ekonomi syari’ah sekarang sudah banyak diterapkan di negara-negara maju, sehingga apabila terjadi sengketa permasalahannya akan semakin kompleks. Oleh karena itu Ketua MA meminta pengadilan agama untuk siap dan mampu dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan oleh para pihak

Harifin A. Tumpa menyampaikan hal tersebut pada pidato pembukaan Pelatihan Pendalaman Materi Ekonomi Syari’ah Hakim Tingkat Pertama dan Banding Peradilan Agama Senin (20/04). bertempat di gedung Balitbang Diklat Kumdil MARI, Megamendung, Bogor.

“Bagi Hakim peradilan agama diberikan pendalaman materi Ekonomi Syari’ah sebagai tindak lanjut terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 " jelas Ketua MA

Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) M Taufik mengusulkan agar hakim Pengadilan Agama (PA) dipilah menjadi dua. Yang pertama adalah hakim yang menangani perkara keluarga, dan kedua adalah hakim yang khusus menangani perkara ekonomi syariah. Usul itu disampaikan Taufik saat menjadi pembicara dalam rapat koordinasi kelompok kerja perdata agama MA, akhir September lalu. “Kami setuju dengan usul itu,” kata Ketua Muda Perdata Agama MA Andi Syamsu Alam, di kantornya, Rabu (3/10). Agar profesional, menurut Andi, hakim PA harus punya spesialisasi.

Hakim khusus ekonomi syariah nanti hanya akan menangani sengketa-sengketa di bidang ekonomi syariah. Menilik pada Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, ada sebelas bidang yang termasuk dalam lingkup ekonomi syariah. Kesebelas bidang itu ialah perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar