Selasa, 15 Desember 2009

Saksi Dalam Pernikah


BAB I
PENDAHULUAN

Kita ketahui bahwa kita sebagaimanusia diciptakan oleh Allah swt berpasang-pasangan ada laki-laki dan perempuan, nah dalam islam, bahkan semua agama ikatan yang dapat mempersatukan pasangan tersebut dengan ikatan yang suci adalah sebuah pernikahan, sebuah pernikahan yang sah secara hukum Syara maupun secara hukum Negara ialah pernikahan yang memenuhi sayarat dan rukunnya. Salah satu penunjang sahnya pernikahan tersebut adalah adanya saksi. Lalu apa itu saksi? Siapa saksi? Haruskah saksi itu ada dalam setiap pernikahan?. Lalu bagaimana pandangan para ulama mengenai saksi dalam nikah ini?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Saksi Nikah
Saksi nikah adalah orang yang menyaksikan secara langsung akad pernikahan supaya tidak menimbulkan salah paham dari orang lain. Masalah saksi pernikahan dalam al-Qur’an tidak tertera secara eksplisit, namun saksi untuk masalah lain seperti dalam masalah pidana muamalah atau masalah cerai atau rujuk sangat jelas diutarakan. Dalam rujuk dan cerai, al-Qur’an menjelaskan:
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.” (at-Thalaq : 2)

Dalam ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan kehadiran saksi pada peristiwa rujuk yakni ketika hampir habisnya masa iddah talaq raj’i dan pihak suami ingin kembali kepada istrinya atau melepaskannya, artinya memutuskan pernikahan tersebut dengan cara membiarkan masa tenggang itu berlalu atau habis. Dalam hal ini Allah SWT menyuruh dua orang saksi yang adil. Seperti kita ketahui cerai dan rujuk adalah masalah hukum ikatan akibat adanya hukum pekawinan, namun Allah SWT tidak menyuruh kita menghadirkan saksi dalam perkawinan melalui firmannya. Mungkin atas dasar ini Nabi SAW bersabda:

لانكاح الا بولي وشا هدي عدل. (رواه الدارقطنى)
“Tidak ada nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Daruquthni).

Jadi saksi nikah ini sangat penting sekali dalam sebuah pernikahan karena selain termasuk pada salah satu rukun nikah juga menjadi syarat sahnya pernikahan. Akan tetapi menenai rukun dan syarat saksi itu sendiri bahkan mengenai sah atau tidaknya sebuah pernikahan harus adanya saksi para ulama berbeda pendapat diantaranya:

1. Saksi Nikah Menurut Imam Syafi’i
Imam syafi’i dengan keikhtiatannya berpendapat bahwa saksi nikah adalah orang yang harus menyaksikan akad pernikahan secara langsung, sesuai dengan KHI Pasal 26 yang berbunyi : “saksi harus hadir dan meyaksikan secara langsung akad nikah dan menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan” , bahkan saksi termasuk rukun yang harus dilaksanakan dalam sebuah pernikahan. Adapun syarat-syaratya ialah:
1. Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki
2. Muslim
3. Balig
4. Berakal
5. Melihat dan mendengar
6. Paham akan maksud akad nikah
7. Adil

Jadi jelas bahwa dalam hal ini imam syafi’i mengharuskan adanya saksi dalam setiap akad pernikahan, karna tampa adanya saksi maka pernikahan itu tidaklah sah. sesuai dengan Dalil syar’i yang disebutkan oleh Khalifah Umar RA. Dari Abi Zubair Al-Makki bahwa Umar bin Al-Khattab RA ditanya tentang menikah yang tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang wanita. Maka beliau berkata : ” Ini adalah nikah sirri, aku tidak membolehkannya. Bila kamu menggaulinya pasti aku rajam”. (Riwayat Malik dalam Al-Muwqaththo'). Dalam hadist ini dikatakan bahwa nikah sirri (nikah tampa saksi) adalah haram dan tidak boleh dilakukan, maka kalau seseorang melakukan akad nikah tampa ada dua orang saksi maka pernikahannya tidak sah.
Selain syarat saksi diatas juga menurut imam Syafi’i banyak sekali hikmah dengan adanya saksi dalam akaq nikah diantaranya: Untuk kemaslahatan kedua belah pihak dan masyarakat, untuk menjaga kesalah pahaman dan lain sebagainya. Misalnya salah seorang ada yang mengingkari, hal itu dapat di elakan oleh adanya dua orang saksi. Juga apabila terjadi kecurigaan masyarakat maka dua orang saksi dapatlah menjadi pembela terhadap adanya akad perkawinan dari sepasang suami istri.

2. Saksi Nikah Menurut Imam Hanafi dan Imam Hambali
Tidak jauh beda, Imam Hanafi dan Imam Hambali juga berpendapat sama bahwa saksi dalam nikah itu adalah termasuk pada rukun sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam syafi’I dan Menurut KHI Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi: “saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah” . akan tetapi menurut mereka boleh juga saksi itu satu orang laki-laki dan dua orang prempuan, dengan dalil al-qur’an surat Al baqarah ayat 282 yang artinya: “...Jika tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya....” (QS. Al-Baqarah : 282). Bahkan ia juga menambahkan boleh dua orang buta dan dua orang adil. Kecuali orang tuli, orang yang sedang tidur,dan mabuk. Jadi pada dasarnya pernikahan barulah bisa sah kalau ada saksi. Karena kalau tidak ada saksi termasuk pada nikah sirri sebagaimana yang sudah dikemukakan diatas.
3. Saksi Nikah Menurut Imam Maliki
Dalam hal ini Imam Maliki berbeda pendapat. Sebelum mengutarakan pendapat Malik bin Anas tentang kedudukan saksi dalam akad nikah, terlebih dahulu kita simak sebuah hadits yang mengemukakan tentang saksi dalam perkawinan, yang artinya : “ Dari “Imran bin Hussein, dari Nabi SAW. Beliau pernah bersabda :“ Tidak sah perkawinan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil“.Penuturan Ahmad bin Hanbal dalam riwayat anaknya,Abdullah“.
Kedudukan hadits tersebut menurut al-Tirmidzi dan dikeluarkan oleh al-Daruquthni dan al-Baihaqi adalah hadits Hasan, karena dalam isnadnya ada perawi yang dikategorikan Matruk yaitu Abdullah bin Mahruz. Demikian juga Malik menilai hadits tersebut sebagai hadits munqathi’. Imam Malik dan ulama hadits lainnya dalam meneliti hadits yang mengungkapkan imperative adanya saksi dalam perkawinan menggunakan pendekatan kebahasaan. Mereka berpendapat bahwa saksi itu bukan syarat sah, karena kalimat nafiy “ laa ilaaha “ dalam hadits di atas menunjukkan makna kesempurnaan (lil itmam) bukan keabsahan (lishihhah). Karena itu Imam Malik dan ulama hadits lain, mengatakan bahwa hadits yang mengemukakan adanya saksi dalam perkawinan semuanya adalah dha’if.
Oleh karena itu Imam Malik berpendapat bahwa dalil tentang adanya saksi dalam perkawinan bukan merupakan dalil qath’iy, tapi hanya dimaksudkan sad al-dzari’ah. Dan menurutnya saksi tidak wajib dalam akad nikah, tetapi perkawinan tersebut harus dii’lankan sbelum dukhul dan saksi bukanlah syarat sah suatu perkawinan. Alasan yang dikemukakan Imam Malik, yaitu ada hadits yang dinilainya lebih shahih, diantaranya : “ Diterima dari Malik ibn al-Mundzir, dia berkata "sesungguhnya Nabi SAW. Telah membebaskan shafiyah r.a. lalu menikahkannya tanpa adanya saksi “ ( HR Al-Bukhari ).


BAB III
KESIMPULAN

Kedudukan Saksi dalam akad nikah terbagi dua ada yang termasuk syarat sahnya sebuah perkawinan dan bila tidak ada dua orang saksi yang memenuhi syarat-syarat diatas maka pernikahannya tidak sah, yaitu pendapat Imam syafi’I, Iman Hanafi dan Imam Hambali. Sedangkan Imam malik tidak demikian, menurut beliau bahwa adanya saksi dalam akad nikah tidaklah menjadi syarat sah atau tidaknya sebuah perkawinan dengan alas an bahwa hadis tentang harus adanya saksi tidak qat’iy, tapi hanya dimaksudkan sad al-dzari’ah. Dan menurutnya saksi tidak wajib dalam akad nikah, tetapi perkawinan tersebut harus dii’lankan sbelum dukhul dan saksi bukanlah syarat sah suatu perkawinan. Alasan yang dikemukakan Imam Malik, yaitu ada hadits yang dinilainya lebih shahih, diantaranya : “ Diterima dari Malik ibn al-Mundzir, dia berkata ‘ sesungguhnya Nabi SAW. Telah membebaskan shafiyah r.a. lalu menikahkannya tanpa adanya saksi “ ( HR Al-Bukhari

DAFTAR FUSTAKA

Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A 2008. Fikih Munakahat. Jakarta: Kencana.
http://makalah-artikel.blogspot.com/2007/11/artikelarticlemakalah.html
http://nuri.pras.web.id/index.php?pilih=hal&id=22 Cafepojok - The Relax Community.pojok diskusi= Religius= Islam
KHI. 2007. Bandung: Fokusmedia
Drs. H. Rahmat Hakim. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar