Senin, 14 Desember 2009

Wakaf Produktif, sebuah Renungan


Wakaf Produktif, sebuah Renungan
Zaim Saidi
Mengoptimalkan Wakaf: dari Liability ke Asset Management

Studi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta (2006), menunjukkan bahwa harta wakaf di Indonesia secara nasional sangatlah besar. Jumlah unit wakaf yang terdata mencapai hampir 363 ribu bidang tanah, dengan nilai secara nominal diperkirakan mencapai Rp 590 trilyun! Ini setara dengan lebih dari 67 milyar dolar AS (kurs Rp 9.250/dolar). Jumlah ini tentu saja sangat besar. Andai saja seluruh harta wakaf ini dijual, hasilnya dapat menutupi 100% total utang luar negeri Pemerintah Republik Indonesia saat ini (awal 2008), yang besarnya ’cuma’ 60 milyar dolar AS. Untuk memahami betapa besarnya harta wakaf ini, dalam konteks lain, bandingkan nilainya yang setara dengan sekitar 85% APBN RI sekarang ini, yang besarnya sekitar Rp 700 triliun/tahun.
Tapi, menjuali aset wakaf tentu tidak dapat kita lakukan begitu saja, karena itu berarti menyalahi prinsip wakaf: mengelola aset pokoknya, dan memanfaatkan hasilnya. Dengan kata lain, kemungkinan yang dapat kita peroleh dari pengelolaan wakaf, justru jauh lebih hebat lagi. Bukan saja aset-pokok triliunan rupiah itu tetap dapat kita pertahankan, dan tidak dijuali seperti yang terjadi pada aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kini satu-per-satu berpindah ke tangan kapitalis asing, sumber utama persoalan bangsa kita (utang luar negeri) akan dapat kita selesaikan.

Tetapi mengapa saat ini wakaf yang begitu besar itu tidak memperlihatkan kontribusi sosialnya pada kehidupan umat, yang justru semakin terpuruk dalam kesulitan hidup? Mengapa kita, sebagai bangsa, masih juga harus terus-menerus mengemis utang kepada para kapitalis internasional?

Marilah kita tengok data-data kita dengan lebih rinci lagi. Ratusan ribu aset wakaf di atas tersebar di seluruh Indonesia, dengan luasan lahan yang sangat bervariasi, dari sekadar puluhan meter persegi sampai ratusan hektar. Kalau diambil rata-ratanya, luas lahan wakaf di Indonesia sekitar 0.5 hektar per unit, memang tidaklah luas. Namun, kalau diuangkan, nilainya sekitar Rp 1.6 milyar/unit, sebuah angka yang sebenarnya tidak terlalu gurem. Persoalan yang lebih mendasar tampaknya adalah pada pemanfaatannya: 79% dari perwakafan tersebut digunakan untuk pemebangunan masjid/mushola, 55% untuk lembaga pendidikan, 9% untuk pekuburan, dan 3% atau kurang untuk fasilitas umum lainnya (sarana jalan, sarana olah raga, WC umum, dan sejenisnya).

Data tersebut merupakan jawaban multiple dari survei UIN di atas, yang dapat kita simpulkan bahwa pemanfaatan wakaf di Indonesia hampir sepenuhnya untuk keperluan konsumtif. Tentu ada contoh-contoh pengelolaan wakaf yang lebih produktif, dan karenanya kontribusi sosialnya sangat dinikmati oleh umat. Ambilah kasus wakaf Pondok Modern Gontor, sebuah lembaga pendidikan yang sama-sama kita kenal mumpuni. Pondok Gontor ditopang oleh sekitar 320 hektar lahan wakaf, 212 hektar di antaranya adalah sawah produktif. Dari sini Pondok Gontor memperoleh hasil panen senilai Rp 726 juta, tiap dua musim panen (data 2003). Selain dari sawah padi, Pondok Pesantren Gontor juga memperoleh pendapatan dari kebun cengkeh dan kegiatan niaga lain di lingkungannya, meski relatif lebih kecil. Dengan dukungan dana wakaf ini, Pondok Gontor mampu menyediakan jasa pendidikan bermutu, bagi sekitar 35 ribu siswa, dengan relatif murah.

Dengan bercermin pada kasus Pondok Gontor kita dapat melihat bahwa pengelolaan wakaf di Indonesia umumnya mengikuti paradigma yang tidak tepat, yakni seperti mengelola sedekah biasa, dana wakaf dipakai untuk kegiatan cost center. Sumberdaya yang disumbangkan langsung dibelanjakan. Dalam bahasa finansial inilah yang acap disebut sebagai liability management, yang memang merupakan tujuan dari bentuk-bentuk sedekah umumnya, tapi bukan wakaf. Sedang wakaf, sebagaimana diajarkan oleh Rasul Sallallahualaihiwassalam dalam hadisnya yang terkenal, adalah ‘menahan pokoknya dan hanya memanfaatkan buah’-nya. Dalam bahasa finansial ini dikenal sebagai asset management. Dalam tradisi wakaf aset ini dapat berupa sawah, perkebunan, toko, pergudangan, serta aneka bentuk usaha niaga – intinya segala jenis kegiatan produktif.

Di zaman modern ini kita memang menghadapi situasi yang berbeda, ketika umumnya aset tidak lagi berada di tangan masyarakat, tapi dikuasai segelintir elit, khususnya para pemilik modal. Jutaan hektar tanah (untuk real estate), perkebunan, sawah, bahkan hutan-hutan kita; serta aset lain berupa pabrik-pabrik dan usaha perdagangan, hampir sepenuhnya kini mereka kuasai. Sementara milyaran umat manusia hanya mendapatkan jatah gaji bulanan, sebagai buruh upahan, yang menjadikannya sulit bagi seseorang untuk mendapatkan aset, berupa sebuah rumah tipe 36 sekalipun, apalagi aset untuk diwakafkan.

Dalam konteks inilah kita perlu memahami peran penting wakaf, dan khususnya yang kini diperkenalkan sebagai ‘wakaf tunai’. Penghimpunan wakaf tunai, dari ribuan atau jutaan orang, adalah jalan bagi umat Islam untuk mengubah aset yang kini dikuasai segelintir orang tersebut, sedikit-demi-sedikit, kembali menjadi milik umum. Pengelolaan wakaf tunai harus mengikuti kaidah dasar wakaf, dalam paradigma asset management, sebagaimana diteladankan oleh Pondok Pesantren Gontor, dan bukan dibelanjakan langsung bagi sedekah sosial. Dengan kata lain, dana-dana wakaf tunai yang dimobilisasi para nadhir, pertama-tama haruslah dijadikan aset, dikelola secara produktif, barulah surplusnya digunakan sebagai sedekah.

Jadi, memanfaatkan dana wakaf untuk langsung membangun sebuah masjid, tentu tidak salah, tapi kurang tepat. Asas-asas wakaf yaitu keswadayaan, keberlanjutan, dan kemandirian, tidak dapat kita penuhi di sini. Dengan kata lain ‘ke-jariah-annya’ tidak kita peroleh. Kemaslahatannya menjadi berkurang, bahkan sebaliknya, alih-alih memberikan kemaslahatan, acap kali harta wakaf tersebut justru menjadi beban bagi umat Islam secara keseluruhan, yang terus-menerus harus mengelola dan memeliharanya.

Semestinya dana-dana wakaf tersebut dipakai untuk membangun kompleks pertokoan, atau mengoperasikan sebuah pompa bensin, atau perkebunan kelapa sawit, dan dari hasilnya, barulah dibangun masjid-masjid atau sekolah-sekolah. Inilah tantangan dan tugas para nadhir kita saat ini. Peran para nadhir bukanlah cuma memobilisasi dana wakaf lalu langsung membelanjakannya sebagai sedekah, tetapi mewujudkannya terlebih dahulu menjadi aset, lalu mengelolanya secara produktif baru memanfaatkan hasilnya sebagai sedekah. Hal ini bukan saja memerlukan wawasan, tapi juga kemampuan, para nadhir dalam bernivestasi secara halal. Insya Allah Tabung Wakaf Indonesia (TWI), yang sekarang hampir genap tiga tahun umurnya, akan menjadikannya sebagai paradigma dalam mengoptimalkan wakaf di Indonesia. Dengan dukungan Anda semua, para wakif, tentunya.

Mengalirkan Surplus Wakaf

Wakaf adalah sedekah khusus dan istimewa. Para wakifnya dijanjikan akan memperoleh pahala abadi, yang tidak putus karena kematiannya di dunia. Secara khusus Rasulallah SAW menyatakan bahwa ada tiga hal yang tak terputus karena kematian seseorang, yaitu “ilmu pengetahuan yang diamalkan, anak-anak yang saleh, dan sedekah jariah”. Rasulallah SAW mendorong kita agar meninggalkan harta demi keberlanjutan Islam dan menopang keberlangsungan umat yang masih hidup di dunia.


Dalam haditsnya yang lain, secara lebih khusus, Rasulallah SAW, memberikan panduannya tentang sedekah jariah ini, yakni dengan cara “menahan pokoknya dan mengalirkan hasilnya”. Karakteristik wakaf, atau sedekah jariah, karenanya adalah keswadayaan, keberlanjutan, dan kemanfaatannya untuk kemaslahatan umum. Untuk memperoleh pahala yang abadi, maka manfaat yang dapat diambil dari wakaf pun haruslah lestari. Dalam metafor lain mengelola wakaf dapat dilukiskan sebagai “memelihara angsa yang bertelor emas”.

Bila memahami prinsip sedekah jariah tersebut maka para nadhir bukan saja harus meningkatkan kemampuan dan kualitas kerjanya, tetapi juga mengubah cara pandang (paradigma) terhadap harta wakaf yang dikelolanya. Keutuhan aset wakaf tidak perlu dipahami secara harfiah berarti tidak boleh berubah sedikit pun. Keutuhan aset, perlu dipahami dalam konteks yang diajarkan oleh Rasulallah SAW di atas, yakni dalam pengertian “menahan pokok dan mengalirkan hasil”. Maka, justru peran para nadhir adalah untuk mengembangkannya, atau “mengutuhkannya”, dalam pengertian untuk selalu diperbarui.

Dengan kata lain aset wakaf haruslah aset berputar, berfungsi produktif, hingga menghasilkan surplus, dan darinya ada yang terus dapat dialirkan – yakni surplusnya tersebut – tanpa mengurangi modalnya. Atau, ketika barang modal itu aus, atau habis terpakai, dapat diperbarui kembali, dari hasil surplus tersebut. Ibarat sang angsa yang bertelor emas, kita bisa selalu memanfaatkan telor-telor emasnya, tanpa menyembelih induk angsanya.

Dalam kondisi tertentu, tentu saja, wakaf dapat langsung dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumtif. Tetapi wakaf konsumtif relatif terbatas jenisnya, seperti untuk keperluan pembangunan masjid, kuburan, jembatan, jalan, serta sarana-sarana umum lainnya. Tetapi, bentuk-bentuk sarana umum ini pun, pada gilirannya tetap harus ditopang untuk pemeliharaannya. Lagi-lagi kita memerlukan sumber dana yang terus mengalir, dan di sinilah wakaf produktif, yang menghasilkan telor emas secara terus-menerus, menjadi lebih utama dan bermanfaat.

Tentu, harus pula dipahami secara tepat, berproduksi, apalagi menggunakan aset-aset wakaf sebagai modalnya, tidaklah berarti semata-mata mengembangkan dan mengakumulasikan modal demi pengamulasian modal itu sendiri. Bila itu yang dilakukan, maka yang terjadi adalah justru melawan perintah Allah SWT sendiri, untuk tidak “menumpuk-numpuk harta” atau “memutarkan hanya pada orang-orang kaya”. Bahkan, bila kita mengalirkan surplusnya sekali pun, tetapi surplus yang didapatkan dengan cara yang tidak mengikuti kaidah syariat, misalnya melalui cara-cara bisnis kapitalistik, maka yang akan kita peroleh bukanlah kesuburan sedekah.

Maka, tugas para nadhir dalam mengembalikan paraktek wakaf yang tepat, akan berarti juga mengembalikan muamalah. Beroperasinya wakaf secara tepat akan ditandai dengan berjalannya secara bersamaan kontrak-kontrak muamalat, seperti qirad, shirkat, qardul hasan, berkembangnya tijarah, dan sebagainya.

from: http://wakalasauqi.blogspot.com/2008/05/wakaf-produktif-sebuah-renungan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar